Tuesday, August 17, 2010

Mutiara Amanat Bung Karno

• “…..kita mempertahankan pendapat bahwa pembentukan blok-blok, apalagi jika berdasarkan kekuatan dan perlombaan persenjataan, hanya mengakibatkan peperangan.” [KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961].

 
• Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et de nation par nation. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

 
• Bangsa Indonesia (saya) berjanji pada diri Beograd untuk bekerja mencapai suatu Dunia yang lebih baik, suatu Dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu Dunia di mana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu Dunia di mana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah suatu bangsa menolak janji semacam itu?”. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

• Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsa-bangsa yang baru Merdeka bermaksud berjuang untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Badan itu hanya dapat menjadi effective, bila Badan tersebut mengikuti jalannya sejarah dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].
 
• Di zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinannya, keharusan akan suatu “Dunia” yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan Nasional. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

• Bagi suatu bangsa yang baru lahir stau suatu bangsa yang baru lahir kembali milik yang paling berharga adalah “kemerdekaan” dan “kedaulatan”. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

• Dunia kita yang satu ini terdiri dari Negara-negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat, dan masing- masing berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dengan masing-masing berhak untuk menjaga kedaulatan itu. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

• Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk kepentingan kita Beograd melainkan kita berjuang untuk kepentingan ummat manusia. Seluruhnya, ya perjuangan kita lakukan untuk kepentingan mereka yang kita tentang. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

 
• Bukanlah pion-pion yang di atas papan catur yang tuan-tuan hadapi. Yang tuan-tuen hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, cita-cita manusla dan hari depan manusia. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

 
• Saya serukan kepada tuan-tuan kepada semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bergeraklah bersama arusnya sejarah, janganlah mencoba membendung arus itu. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].
Bangunlah Dunia ini kembali! Banguniah Dunia ini kokoh kuat dan sehat! Bangunlah suatu Dunia di mana semua bangsa hidup dalam Damai dan Persaudaraan. Bangunlah Dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita ummat manusia. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960].

 
• Masalah bangsa Asia harus diselesaikan oleh Bangsa Asia Beograd dengan cara-cara Asia. Asian Problems to be solved by themselves in Asian ways. [Konferensi Maphilindo di Manila 1963].

• Abad ke-20 berisi fenomena:

 
1. Merdekanya bangsa-bangsa Asia-Afrika.

 
2. Timbulnya negara-negara sosialis.

 
3. Terjadinya atomic-revolution.

 
4. Akibat paradox historis, di satu fihak ummat manusia oleh tehnik yang maju sekali menjadi satu, di lain pihak dipisah-pisahkan menjadi bangsa-bangsa yang merdeka dengan pagar Beograd-sendlri.
 
Tentang imperialisme




• Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa pengluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi juga berjalan dengan “putarlidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”. [Indonesia menggugat, hlm. 81].

• Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintah asing dari Indonesia, belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama sekali. [Indonesia menggugat, hlm. 81].

• Benar seperti kata Jean Juares, di dalam Dewan Rakyat Perancis terhadap wakil-wakil kaum modal, “Imperialisme itulah penghasut yang besar yang menyuruh berontak; karena itu bawalah ia ke depan polisi dan hakim.” Tapi bukan imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme yang kini berada di muka mahkamah tuan-tuan Hakim tetapi kami: Gatot Mangkoeprodjo, Maskoen, Soepriadinata, Sukarno.” [Indonesia menggugat, hlm. 81].

• Amboi-di manakah kekuatan duniawi yang bisa memadamkan tenaga sesuatu bangsa. Puluhan, ratusan, ya ribuan “penghasut” dan “opruieres” dan “ophitser” sudah di bui atau dibuang. Tapi tidaklah pergerakan yang umurnya lk. 20 tahun itu semakin menjadi besar ? [Indonesia menggugat, hlm. 70].

• Memang zaman imperialisme modern mendatangkan “kesopanan”, mendatangkan jalan-jalan tapi apakah itu setimbang dengan bencana yang disebabkan oleh usaha-usaha partikulir itu? Indonesia menggugat, hlm. 46.

• Sejak adanya “Opendeur Politik”, juga modal Inggeris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi Internasional. [Indonesia menggugat, hlm. 51].

• We are often told “Colonialism is dead”. Let us not be deceived or even soothed by that. I say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are un-free. And I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa knew, colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control a small, but aliencommunity within a nation. It is a skillfull and determined enemy, and it appears in many guises. It does not give up its loot easily, wherever, whenever and however-it-appears, colonialism is an evil thing, and one must be eradicated from the earth. [Pidato Konperensi AA di Bandung pada tahun 1955, hlm. I8-4-´55].

• Soal jajahan, adalah soal “rugi atau untung”, soal ini bukanlah soal kesopanan atau kewajiban, soal ini ialah soal mencari hidup, soal Business ! [Di bawah bendera revolusi, hlm. 51].

• Perang Kemerdekaan Amerika adalah sukses pertama perang melawan kolonialls di dalam sejarah dunia (di permukaan bumi) Maka penyair Longfellow menulis:

A cry defiance and not of fear.

A voice in the darkness, a knock at the door.

And a word that shall echo for evermore

[Pidato Konperensi AA di Bandung pada tahun 1955, hlm. I8-4-´55]

• Dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat yang terkenal, “Kaum imperialis, awaslah, jikalau nanti geledek Perang Pacific menyambar-nyambar dan membelah angkasa …., di situlah rakyat Indonesia melepaskan belenggu-belenggunya, di situ Rakyat Indonesia akan Merdeka. [Kepada bangsaku hlm. 316 ].

• Memang Tuan Hakim, kami membicarakan bahwa Perang Pacific itu akan datang. Kami harus mengerti, jika bangsa Indonesia tidak segera menjadi bangsa yang teguh, kami bisa tidak tahan menderitakan pengaruh ledakan itu.

[Indonesia menggugat, hlm. 164].

• Pergerakan ini ialah antithese imperialisme yang terbikin oleh imperialisme Beograd. Bukan bikinan “penghasut”, bukan bikinan “opruieres”, pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat. [Indonesia menggugat, hlm. 71].

• Bagaimana hakekatnya “budaya” atau “cultuur” yang didatangkan imperialisme moderen itu? Stockvis menyebutnya.” rakyat khatulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”. [Indonesia menggugat, hlm. 72].

• Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau di desa situ telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”. Tak lain tak bukan, karena rakyat menunggu dan mengharap pertolongan. [Indonesia menggugat, hlm. 75].

• Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau di desa situ telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”. Tak lain tak bukan, karena rakyat menunggu dan mengharap pertolongan. [Indonesia menggugat, hlm. 75].



Tentang keadilan

• Maka karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat dan mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechvaardigheid ini yaitu bukan saja persamaan politik, harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama. [Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945].

• Apakah kita mau Indonesia MERDEKA, yang kaum Kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?. [Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945].

• Saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat yang adil dan makmur, dengan menggunakan alat-alat industri, alat-alat tehnologi yang sangat modern. Asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 115 ].

• Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif: Adanya industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. [Kepada bangsaku, hlm. 381].

• Dalam hubungan Internasionalpun kemerdekaan merupakan suatu jembatan, suatu jembatan untuk perjuangan bangsa-bangsa bagi persamaan derajat untuk pembentukan bangsa-bangsa dan negara-negara sehingga sanggup berdiri di atas kaki Beograd, politis, ekonomis,………” [KTT NON BLOK Beograd, 1- 9 - 1961].

• Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga adanya produksi yang secukupnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1950].

• Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat yang sedikit. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 85].

• Untuk menjadi “padang usaha” industrialisme, seluruh daerah Indonesia harus “Ekonomis” satu, dan supaya ekonomisnya menjadi satu, maka seluruh daerah Indonesia itu “Polltis” harus menjadi satu pula. [Kepada bangsaku, hlm. 395].

• Saya teringat akan apa yang dikatakan oleh Perdana Menteri Kim Il Sung di tahun 1947: “In order to build a democratic state, the foundation of an independent economy of the nation must be established ……… without the foundation of an independent economy, we can either attain independence, nor found the state, nor subsist”.

• “Untuk membangun suatu Negara yang Demokratie, maka satu ekonomi yang Merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang Merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita tetap hidup”. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Rakyat padang pasir bisa hidup-masa kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup masa kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol. [Pidato Konperensi Kolombo Plan di Yogyakarta th. 1953].

• Ekonomi Indonesia akan bersifat Indonesia, sistem politik Indonesia akan bersifat Indonesia masyarakat kami akan bersifat Indonesia, dan semuanya itu akan didasarkan kokoh kuat atas warisan kulturil dan spiritual bangsa kami Beograd. Warisan itu dapat dipupuk dengan bantuan dari luar, dari seberang lautan, akan tetapi bunganya dan buahnya akan memiliki sifat-sifat kami Beograd. Maka janganlah tuantuan mengharapkan, bahwa setiap bentuk bantuan yang tuan berikan akan menghasilkan cerminan dari diri tuan-tuan Beograd. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, para kawula iyeg rumagang ing gawe, tebih saking laku cengengilan adoh saking juti. Wong kang lumaku dagang, rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wonten sansayangi margi. Subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku. Bebek ayam raja kaya enjang medal ing panggenan, sore bali ing kandange dewe-dewe. Ucapan-dalang dari bapaknya-embahnya-buyutnya-canggahnya, warengnya-udeg-udegnya, gantung siwurnya. Bekerja bersatu padu, jauh daripada hasut, dengki, orang berdagang siang malam tiada hentinya, tidak ada halangan di jalan. Inipun menggambarkan cita-cita sosialisme. [Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960].

• Dan sejarah akan menulis: di sana di antara benua Asia dan Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa yang mula-mula mencoba untuk kembali hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa kembali menjadi : een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Maha Besarlah Tuhan yang membuat kita sadar kembali sebelum kasip. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Suatu bangsa hanyalah menjadi kuat kalau patriotismenya meliputi patriotisme ekonomi. Ini memang jalan yang benar kearah kekuatan bangsa, jalan yang jujur, jalan yang tepat. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Kalau bangsa bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya kenapa kita tidak? Kenapa tidak? Coba pikirkan !

1. Kekayaan alam kita yang sudah digali dan yang belum digali, adalah melimpah-limpah.

2. Tenaga kerjapun melimpah-limpah, di mana kita berjiwa 100 juta manusia.

3. Rakyat indonesia sangat rajin, dan memiliki ketrampilan yang sangat besar, Ini diakui oleh semua orang di luar negeri.

4. Rakyat memiliki jiwa Gotong-royong, dan ini dapat dipakai sebagai dasar untuk mengumpulkan Funds and forces.

5. Ambisi daya cipta Bangsa Indonesia sangat tinggi di bidang politik tinggi, di bidang sosial tinggi, di bidang kebudayaan tinggi, tentunya juga di bidang ekonomi dean perdagangan.

6. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi, “tempe”. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.

[Pidato HUT Proklamasi, 1963]



Tentang kemerdekaan

• Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka, – Merdeka atau mati ! (1 Juni 1945 lahirnya Pancasila).

• We want to establish a state, “all for, all”, neither for a single individual nor for one group, whether it be a group of aristocracy or a group of wealthy-but, “all for all”. Kita ingin mendirikan satu Negara “semua buat semua”, bukan satu

Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara “semua buat semua”. (1 Juni 1945 lahirnya Pancasila).

• Tokh diberi hak atau tidak diberi hak, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya bangkit menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu merasakan celakanya diri teraniaya oleh satu daya angkara murka. Jangan lagi manusla, jangan lagi bangsa walau cacingpun tentu bergerak berkelegut-kelegut kalau merasakan sakit. (Indonesia menggugat, hlm. 09).

• Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan walaupun jembatan emas di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis. [Mencapai Indonesia Merdeka, 1933].

• Jikalau kita membaca seorang pemimpin Irlandia lain, Erskin Childers berkata, “Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan sebagai maut, dia ada atau tidak ada. Kalau orang, menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”. (Indonesia menggugat, hlm. 86).

• Kemerdekaan untuk merdeka. Kemerdekaan berarti mengakhiri untuk selama-lamanya penghisapan bangsa oleh bangsa, penghisapan-penghisapan yang tak langsung maupun penghisapan yang langsung. (Pidato KTT Non-Blok, 1- 9 -1961).

• Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri Beograd, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, maupun sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. (Indonesia menggugat, hlm. 81).

• Kemerdekaan adalah jembatan emas. di seberang jembatan, jembatan emas inilah kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah kuat, sehat, kekal dan abadi. [Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945].

• Tetapi kecuali daripada itu, maka peristiwa menjadi merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, merdeka, betul-betul merdeka, dan bukan merdeka boneka. (Kepada bangsaku hlm. 375).

• Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. [Mencapai Indonesia Merdeka, 1933].



Tentang nasionalisme



• Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup di dalam rokh”. [Suluh Indonesia Muda, 1928].

• Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-mata copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 5].

• Nasionalisme Eropa ialah satu Nasionalisme yang bersifat serang menyerang, satu Nasionalisme yang mengejar keperluan Beograd, satu Nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, Nasionalisme semacam itu pastilah salah, pastilah binasa. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 6].

• Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara bangsa-bangsa. Tuan-tuan Hakim-itu bukan nyaman… Tidaklah karenanya wajib tiap-tiap nasionalls mencegah keadaan itu dengan seberat-beratnya ? [Indonesia menggugat, hlm. 58].

• Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu Beograd. [[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37].

• Entah bagaimana tercapainya “persatuan” itu, entah bagaimana rupanya “persatuan” itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia – Merdeka itu, ialah ….”Kapal Persatuan” adanya. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 2].

• Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang Beograd, mempunyai karakteristik Beograd. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian Beograd. [Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 7 ].

• Kita bangsa yang cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan! [Pidato HUT Proklamasi, 1946 ].

• Bangsa adalah segerombolan manusia yang keras ia punya keinginan bersatu dan mempunyai persamaan watak yang berdiam di atas satu geopolitik yang nyata satu persatuan. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 58].

• Kita dari Republik Indonesia dengan tegas menolak chauvinisme itu. Maka itu di samping sila kebangsaan dengan lekas-lekas kita taruhkan sila perikemanusiaan. [Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 64].

• Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 69].

• Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. [Pidato Hari Pahlawan 10 Nop. 1961].

• Di dalam arti inilah maka pengorbanan kawan Tjipto itu harus kita artikan: Tiada pengorbanan yang sia-sia. Tiada pengorbanan yang tak berfaedah. “No sacrifice is wasted”. [Suluh Indonesia Muda, 1928].

• Tidak seorang yang menghitung-hitung : “Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.” [Pidato HUT Proklamasi, 1956].

• Oleh karena itu, maka Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan nasional, tetapi juga harus menjaga yang di dalam kemerdekaan nasional itu harus Marhaen yang memegang kekuasaan. [Mencapai Indonesia Merdeka, 1933].

• Ini Negara, alat perjuangan kita. Dulu alat perjuangan ialah partai. Nah, alat ini kita gerakkan. Keluar untuk menentang musuh yang hendak menyerang. Kedalam, memberantas penyakit di dalam pagar, tapi juga merealisasikan masyarakat adil dan makmur. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 60].

• Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 65].

• Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita Beograd. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan Beograd, akan dapat berdiri dengan kuatnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1945].

• Dalam pidatoku, “Sekali Merdeka tetap Merdeka”! Kucetus semboyan: “Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta KEMERDEKAAN”. [Pidato HUT Proklamasi, 1946].

• Dalam pidatoku Rawe-rawe rantas, malang-malang putung kutegaskan Rawe-rawe rantas, malang-malang putung ! Kita tidak mau. Dua kita melawan! Sesudah Belanda menggempur ….. mulailah ia dengan politiknya devide et impera, politiknya memecah belah ….. maka kita bangsa Indonesia bersemboyan bersatu dan berkuasa. [Pidato HUT Proklamasi, 1947].

• Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal …. Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan ….. Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula. [Pidato HUT Proklamasi, 1948].

• Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali. [Pidato HUT Proklamasi, 1949].

• Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat. [Pidato HUT Proklamasi, 1950].

• Adakanlah ko-ordinasi, adakanlah simponi yang seharmonisharmonisnya antara kepentingan Beograd dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan Beograd itu dimenangkan di atas kepentingan umum. [Pidato HUT Proklamasi, 1951].

• Kembali kepada jiwa Proklamasi …. kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional … kedua jiwa ichlas…ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangunan. [Pidato HUT Proklamasi, 1952].

• Bakat persatuan, bakat “Gotong Royong” yang memang telah berurat berakar dalam jiwa Indonesia, ketambahan lagi daya penyatu yang datang dari azas Pancasial. [Pidato HUT Proklamasi, 1953].

• Dengan “Bhinneka Tunggal Ika” dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja. [Pidato HUT Proklamasi, 1954].

• Sepuluh tahun telah kita Merdeka, tetapi masih ada saja orang-orang yang dihinggapi minderwaardigheids complexen terhadap orang asing, masih ada saja orang-orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur Eropa dari pada kultur Beograd. Sehatkanlah kehidupan politik kita dengan jalan Pemilihan Umum itu. Engkau bisa, hei Rakyat, sebab engkaulah yang menjadi hakim-bukan aku, bukan Bung Hatta, bukan Angkatan Perang, bukan Kabinet.

[17 AGUTUS 1955].

• Dalam pidatoku: “Berilah isi kepada kehidupanmu” kutegaskan: “Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner …. jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan…” kita adalah “fighting nation” yang tidak mengenal “yourney’s end” [Pidato HUT Proklamasi, 1956].

• Dalam pidatoku, “Satu Tahun Ketentuan “ku-kobar-kobarkan Revolusi Indonesia benar-benar Revolusi Rakyat …. Tujuan kita masyarakat adil-makmur, masyarakat Rakyat untuk Rakyat, karakteristik segenap tindak tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik Rakyat. demokrasi met leiderschap, demokrasi terpimpin. [Pidato HUT Proklamasi, .1957].

• Dalam pidatoku, “Tahun Tantangan” kusimpulkan, “Rakyat 1958 sekarang sudah lebih sadar …. tidak lagi tak terang siapa kawan, siapa lawan, tidak lagi tak terang siapa yang setia dan siapa pengkhianat ….. siapa pemimpin sejati dan siapa pemimpin anteknya asing …. siapa pemimpin pengabdi Rakyat dan siapa pemimpin gadungan. Dalam masa tantangan-tantangan seperti sekarang ini, lebih dari pada di masa-masa yang lampau kita harus menggembleng kembali Persatuan … Persatuan adalah tuntutan sejarah”. [Pidato HUT Proklamasi, 1958].

• Dalam pidatoku, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian diperkuat oleh seluruh nasion dan disahkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia kurumuskanlah “tiga segi” kerangka Revolusi kita dan 5 (lima) persoalan-persoalan pokok Revolusi Indonesia yaitu: Dasar/tujuan dan kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan sosial Revolusi Indonesia, dan musuh-musuh Revolusi Indonesia. [Pidato HUT Proklamasi, 1959 ].

• Dalam pidatoku. “Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit”, jalannya Revolusi kita kutandaskan perlunya dilaksanakan “Landreform”, perlunya dikonsolidasikan segenap kekuatan untuk menghadapi imperialis-kolonialis. [Pidato HUT Proklamasi, 1960].

• Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem”? Bangsa yang zelfgenoegzaam? Bangsa yang angler memeteli burung perkutut dan minum teh nastelgi ? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup! “verpletterd in het gedrang van mensen en volken, dievechten om het bestaan”. [Pidato HUT Proklamasi, 1960 ].

• Dalam pidatoku Resopim kutegaskan perlunya meresapkan adilnya Amanat Penderitaan Rakyat, agar meresapkan pula tanggung-jawab terhadapnya serta mustahilnya perjuangan besar kita berhasil tanpa Tri Tunggal Revolusi, Ideologi Nasional progressive dan pimpinan Nasional. [Pidato HUT Proklamasi, 1961].

• Dalam pidatoku, Tahun Kemenangan” kulancarkan gagasan: “maju atas dasar kemajuan dan mekar atas dasar kemekaran” “selfpropelling growth”. [Pidato HUT Proklamasi, 1961].

• Sesuatu bangsa yang tidak mempunyai kepercayaan kepada diri Beograd tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith cannot stand. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Kita bangsa Indonesia, kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak boleh duduk diam tersenyum simpul di atas damparnya kemasyhuran dan damparnya jasa-jasa di masa. lampau. Kita tidak boleh “teren op oud roem”, tidak boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita “teren op oud roem” kita nanti akan menjadi satu Bangsa yang “ngglenggem” satu bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat. [Pidato HUT Proklamasi, 1963 ].

• Terserahlah sejarah nanti menonjolkan atau tidak jasa-jasa atau kemasyhuran-kemasyhuran itu. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: “Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim” “Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu merobah nasibnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

• Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktip, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi. [Pidato HUT Proklamasi, 1964 ].

• Karena itu hai Bangsa Indonesia, janganlah kita mencari kepeloporan mental pada orang lain. Carilah kepeloporan mental itu pada diri Beograd. Carilah Beograd konsepsi-konsepsimu Beograd. Freedom to be free ! Freedom to be free ! [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

• Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung Semeru atau gunung Kinibalu sekalipun. [Pidato HUT Proklamasi, 1965].

• Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita di masa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

• Memberikan selfrespect kepada Bangsa Beograd, memberikan selfconfidence kepada diri Bangsa Beograd, memberikan kesanggupan untuk Berdikari, adalah mutlak perlu bagi tiap-tiap bangsa, di sudut dunia manapun, di bawah kolong langit manapun. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

• Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca-mata benggalanya dari pada masa yang akan datang. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].


• Karena itu segenap jiwa ragaku berseru Kepada bangsaku Indonesia : “Terlepas dari perbedaan apapun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

• Apakah kelemahan kita : “Kelemahan jiwa kita ialah, kita kurang percaya kepada diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, pada hal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

• Pancasila kecuali suatu Weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan dan siapa tidak mengerti bahwa kita hanya dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Panca Sila. [Pancasila sebagai dasar negara].

• Ada orang berkata, pada waktu Bung Karno mempropagandakan Pancasila, pada waktu itu ia menggalinya kurang dalam. Tapi saya terus terang katakan “Saya menggalinya dari empat saf : Saf pra Hindu, saf Hindu, saf Islam dan saf Imperialis.” [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 42].

• Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 38].

• Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya ? Kalau pada garis besarnya telah saya gogo, saya selami, rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 49].

• Kalau Saudara tanya kepada saya personlijk apakah Bung Karno betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya kepada adanya Tuhan. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 48].

• Kita, sayapun adalah orang Islam, maaf beribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan mellhat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam musyawarah. Dengan mufakat kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atas permusyawaratan dalam Badan Perwakilan Rakyat. [Pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945].

• 1. Pancasila, as the sublimation of Indonesia’s unity of soul. 2. Pancasila, as the manifestation of the unity the Indonesian nation’s and territory. 3. Pancasila, as WELTANSCHAUUNG in the Indoneslan nation’s way of life, nationallty and internationally. [Kata Pengantar Bung Karno dalam buku Lahirnya Pancasila, edisi Bahasa Inggeris, 1 Juni 1964 hlm. 5].

• I am not a maker of Pancasila. I am not a creator of Pancasila. I merely put into words some feelings existing among people, to which I gave the name of Pancasila. I dug in the ground of the Indonesian people and I saw in the heart of the Indonesian nation that there were five feelings there …. I formulated what we know to day as Pancasila. I merely formulated it because these five feelings had already lived for scores of years, even hundreds of years in our innen most hearts. [Kata Pengantar Bung Karno dalam buku Lahirnya Pancasila, edisi Bahasa Inggeris, 1 Juni 1964 hlm. 43].


• Saya berjuang sejak tahun 1918 sampai dengan 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung. Untuk membentuk Nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri kemanusiaan, untuk permusyawaratan, untuk socialrecht-vaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya berpuluh tahun. [Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945].



Tentang Sukarno



• …. Di dalam cita-cita politikku, aku ini seorang nasionalis, dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan. [Kepada bangsaku].

• Ya., saya tahu bahwa saya sering dicemooh orang yang tidak senang kepada saya, bahwa saya adalah katanya “manusia perasaan”, gevoelsmens, dan bahwa saya di dalam politik terlalu bersifat “manusia seni”, terlalu bersifat artis. Alangkah senangnya saya dengan cemoohan itu! Saya mengucapkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa saya dilahirkan dengan sifat-sifat gevoels-mens dan artis, dan saya bangga bahwa Bangsa Indonesia pun adalah satu “Bangsa perasaan” (satu gevoelsvolk) dan Bangsa Artis – satu artisenvolk. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

• Semua orang tahu bahwa aku ini penggemar seni rupa, baik patung, lukisan-lukisan maupun yang lain-lain. Aku lebih suka lukisan Samudera yang gelombangnya memukul-mukul, menggebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem-ayem-tentrem, “kadyo siniram wayu sewindu lawase”. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

• Oemar Said Tjokroaminoto berumur 63 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Tjokro mengajarkan tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadinya aku kelak. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 52 ].

• Dr. Douwe Dekker, Setiabudi ketika umurnya sudah 50 tahun menyampaikan kepada partainya N.I.P. “Umur saya semakin lanjut, dan bila datang saatnya saya akan mati bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi pengganti saya. Anak muda ini, akan menjadi Juru Selamat dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang”. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 67].

• Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet, onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is. Orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia mau, orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia tahu, orang hanya bisa mengajarkan apa ia adanya. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 514 ].

• Demokrasi kita harus kita jalankan adalah Demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 105].

• Parlementaire Demokrasi adalah ideologi politik dari pada Kapitalisme yang sedang naik. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 91].

• Aku bersemboyan; Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

• Ramalan kedua dari Pak Tjokro, satu malam di tengah keluarga, dia berbicara, “Ikutilah anak ini dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar Kita”: [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 68].

• Pada satu waktu saya sampai kepada suatu saat memerlukan satu nama umum bagi semua yang kecil-kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain-lainnya, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil-kecil semuanya. Lantas saya beri nama kepada semuanya itu Marhaen! [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 25].


• Ilmu hanyalah ilmu sejati, jikalau ilmu itu ialah untuk membawa kebahagiaan kepada manusia. [Menggali api Pancasila, hlm. 15].

• Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat. [Menggali api Pancasila, hlm. 11].

• Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, nafasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 13].

• Dan saya sadar sampai sekarang ini, “the service of freedom is a deathless service”. Badan manusia bisa hancur …., tapi ia punya “service of freedom” tidak bisa ditembak mati. [Kata-Kata Pribadi Presidan Sukarno Dalam Sidang MPRS Ke-IV 1966].



Tentang wanita



• Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal W a n i t a. Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan! Tetapi, ya kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan yang di kehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak, menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay? [Sarinah, hlm. 8].

• Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan lakilaki. Dan soal perempuan adalah suatu soal masyarakat dan negara. [Sarinah, hlm. 14].

• Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang sstu menindas saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di atas yang lain, tetapi dua “saf” itu sama derajat, berjajar yang satu dengan yang lain, yang satu memperkuat yang lain. Tetapi masing-masing menurut kodratnya Beograd. [Sarinah, hlm. 15].

• Kaum laki-laki marilah kita memikirkan soal ini. Dan marilah kita ikut memikirkan soal perempuan sebab di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai perempuan. [Sarinah, hlm. 14].

• Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki perempuan yang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula. [Sarinah, hlm. 17].

• Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam suatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. [Sarinah, hlm. 17].

• Atau benar pula perkataan Baba O´llah, yang menulis bahwa: “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya se-ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai kepuncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” [Sarinah, hlm. 17/18].

• Sungguh benar perkataan Charles Fourier kalau ia mengatakan: “bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu”. [Sarinah, hlm. 17].

• Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidak adilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka Matriarchat membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas kepada yang lain, tak peduli fihak mana yang menindas dan tak peduli fihak mana yang tertindas. Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya. [Sarinah, hlm. 41].

• Saya bukan pecinta matriachat, saya adalah pecinta patriarchat bukan karena saya seorang laki- laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama dari Matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan. [Sarinah, hlm. 41].

• Saya pecinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat, itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patriarchat yang “parental”. [Sarinah, hlm. 41].

• Maha bijaksana Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistem kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengerti akan “h i k m a h” patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan. [Sarinah, hlm. 42].

• Laki-laki hanya terjepit sebagai machluk-sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tetapi perempuan aadalah terjepit sebagai machluk sosial dan sebagai machluk per-seksean. [Sarinah, hlm. 24/25].

• Bagaimanakan masyarakat yang tuan cita-citakan? Saya menjawab: “di dalam masyarakat yang saya cita- citakan itu tiap-tiap orang laki-laki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami. Ini kedengarannya mentah sekali, tuan barangkali akan tertawa, atau mengangkat pundak, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? di dalam masyarakat yang “struggle for life” tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, niscaya “persundalan” boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi luar biasa dan bukan suatu kanker sosial yang permanent yang banyak-korbannya. [Sarinah, hlm. 23/24].

• Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat penting. [Sarinah, hlm. 15].

• Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki. [Sarinah, hlm. 40].

• Bukan lagi “kepribadiannya” wanita yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaan, “sex-appealnya”. Keelokannya itu kini menjadi senjata ekonomi, fungsi kelaminnya itu menjadi fungsi ekonomi. [Sarinah, hlm. 67].

• Tiga sifat/hal yang dituntut dari seorang wanita yang sejati lalah: ya ibu, ya isteri, ya kawan seperjuangan (kawan hidup di dalam masyarakat). Jikalau wanita bisa mengumpulkan tiga hal ini, baru dapat disebut wanita sempurna. [Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960].

• Wanita itu, seperti kata pemimpin wanita Henriete Roland Holst van der Schalk: “Wanita itu seperti seekor keledai yang menarik dua kereta”. Bebannya dua, bukan satu. Beban di masyarakat, dan beban di rumah tangga. Wanita tidak bisa menjadi manusia masyarakat saja. Wanitapun ingin menjadi manusia rumah- tangga, ingin menjadi manusia ibu, ingin menjadi manusia-isteri.” [Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960].

• Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku, buat engkaulah aku goyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjuanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu. Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebagai tadipun telah kukatakan, “tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita Beograd.” [Sarinah, hlm. 326].

• Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, jangan juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya. Inilah kata perakataan Ki Hadjar Dewantara. [Sarinah, hlm. 4].

• Orang Inggeris ada mempunyai syair yang bunyinya: Man works from rise to set-of sun. Woman’s work is never done. Laki-laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam. Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam. Ini syair adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. [Sarinah, hlm. 77].

• Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang ! Sekarang ikutlah, serta -mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik dan nanti jika Republik sudah selamat, ikutlah serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. [Sarinah, hlm. 328].

• Janganlah ketinggalan dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang Merdeka! [Sarinah, hlm. 329].
• Janganlah ketinggalan dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang Merdeka! [Sarinah, hlm. 329]. 
• Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 65].

  
• Dalam pidatoku Rawe-rawe rantas, malang-malang putung kutegaskan Rawe-rawe rantas, malang-malang putung ! Kita tidak mau. Dua kita melawan! Sesudah Belanda menggempur ….. mulailah ia dengan politiknya devide et impera, politiknya memecah belah ….. maka kita bangsa Indonesia bersemboyan bersatu dan berkuasa. [Pidato HUT Proklamasi, 1947].

 
• Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal …. Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan ….. Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula. [Pidato HUT Proklamasi, 1948].

 
• Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali. [Pidato HUT Proklamasi, 1949].
• Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat. [Pidato HUT Proklamasi, 1950].

 
• Adakanlah ko-ordinasi, adakanlah simponi yang seharmonisharmonisnya antara kepentingan Beograd dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan Beograd itu dimenangkan di atas kepentingan umum. [Pidato HUT Proklamasi, 1951].
• Kembali kepada jiwa Proklamasi …. kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional … kedua jiwa ichlas…ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangunan. [Pidato HUT Proklamasi, 1952]. 
 
• Bakat persatuan, bakat “Gotong Royong” yang memang telah berurat berakar dalam jiwa Indonesia, ketambahan lagi daya penyatu yang datang dari azas Pancasial. [Pidato HUT Proklamasi, 1953].

 
• Dengan “Bhinneka Tunggal Ika” dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja. [Pidato HUT Proklamasi, 1954].
• Sepuluh tahun telah kita Merdeka, tetapi masih ada saja orang-orang yang dihinggapi minderwaardigheids complexen terhadap orang asing, masih ada saja orang-orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur Eropa dari pada kultur Beograd. Sehatkanlah kehidupan politik kita dengan jalan Pemilihan Umum itu. Engkau bisa, hei Rakyat, sebab engkaulah yang menjadi hakim-bukan aku, bukan Bung Hatta, bukan Angkatan Perang, bukan Kabinet.

 
[17 AGUTUS 1955].

 
• Dalam pidatoku: “Berilah isi kepada kehidupanmu” kutegaskan: “Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner …. jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan…” kita adalah “fighting nation” yang tidak mengenal “yourney’s end” [Pidato HUT Proklamasi, 1956].

 
• Dalam pidatoku, “Satu Tahun Ketentuan “ku-kobar-kobarkan Revolusi Indonesia benar-benar Revolusi Rakyat …. Tujuan kita masyarakat adil-makmur, masyarakat Rakyat untuk Rakyat, karakteristik segenap tindak tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik Rakyat. demokrasi met leiderschap, demokrasi terpimpin. [Pidato HUT Proklamasi, .1957].

 
• Dalam pidatoku, “Tahun Tantangan” kusimpulkan, “Rakyat 1958 sekarang sudah lebih sadar …. tidak lagi tak terang siapa kawan, siapa lawan, tidak lagi tak terang siapa yang setia dan siapa pengkhianat ….. siapa pemimpin sejati dan siapa pemimpin anteknya asing …. siapa pemimpin pengabdi Rakyat dan siapa pemimpin gadungan. Dalam masa tantangan-tantangan seperti sekarang ini, lebih dari pada di masa-masa yang lampau kita harus menggembleng kembali Persatuan … Persatuan adalah tuntutan sejarah”. [Pidato HUT Proklamasi, 1958].

 
• Dalam pidatoku, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian diperkuat oleh seluruh nasion dan disahkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia kurumuskanlah “tiga segi” kerangka Revolusi kita dan 5 (lima) persoalan-persoalan pokok Revolusi Indonesia yaitu: Dasar/tujuan dan kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan sosial Revolusi Indonesia, dan musuh-musuh Revolusi Indonesia. [Pidato HUT Proklamasi, 1959 ].
• Dalam pidatoku. “Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit”, jalannya Revolusi kita kutandaskan perlunya dilaksanakan “Landreform”, perlunya dikonsolidasikan segenap kekuatan untuk menghadapi imperialis-kolonialis. [Pidato HUT Proklamasi, 1960].

 
• Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem”? Bangsa yang zelfgenoegzaam? Bangsa yang angler memeteli burung perkutut dan minum teh nastelgi ? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup! “verpletterd in het gedrang van mensen en volken, dievechten om het bestaan”. [Pidato HUT Proklamasi, 1960 ]. 

 
• Dalam pidatoku Resopim kutegaskan perlunya meresapkan adilnya Amanat Penderitaan Rakyat, agar meresapkan pula tanggung-jawab terhadapnya serta mustahilnya perjuangan besar kita berhasil tanpa Tri Tunggal Revolusi, Ideologi Nasional progressive dan pimpinan Nasional. [Pidato HUT Proklamasi, 1961].

 
• Dalam pidatoku, Tahun Kemenangan” kulancarkan gagasan: “maju atas dasar kemajuan dan mekar atas dasar kemekaran” “selfpropelling growth”. [Pidato HUT Proklamasi, 1961].

 
• Sesuatu bangsa yang tidak mempunyai kepercayaan kepada diri Beograd tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith cannot stand. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

 
• Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

 
• Kita bangsa Indonesia, kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak boleh duduk diam tersenyum simpul di atas damparnya kemasyhuran dan damparnya jasa-jasa di masa. lampau. Kita tidak boleh “teren op oud roem”, tidak boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita “teren op oud roem” kita nanti akan menjadi satu Bangsa yang “ngglenggem” satu bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat. [Pidato HUT Proklamasi, 1963 ].
• Terserahlah sejarah nanti menonjolkan atau tidak jasa-jasa atau kemasyhuran-kemasyhuran itu. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].

 
• Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: “Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim” “Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu merobah nasibnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

 
• Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktip, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi. [Pidato HUT Proklamasi, 1964 ].

 
• Karena itu hai Bangsa Indonesia, janganlah kita mencari kepeloporan mental pada orang lain. Carilah kepeloporan mental itu pada diri Beograd. Carilah Beograd konsepsi-konsepsimu Beograd. Freedom to be free ! Freedom to be free ! [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

• Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung Semeru atau gunung Kinibalu sekalipun. [Pidato HUT Proklamasi, 1965].


 
• Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita di masa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].
 
• Memberikan selfrespect kepada Bangsa Beograd, memberikan selfconfidence kepada diri Bangsa Beograd, memberikan kesanggupan untuk Berdikari, adalah mutlak perlu bagi tiap-tiap bangsa, di sudut dunia manapun, di bawah kolong langit manapun. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

 
• Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca-mata benggalanya dari pada masa yang akan datang. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].
• Karena itu segenap jiwa ragaku berseru Kepada bangsaku Indonesia : “Terlepas dari perbedaan apapun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

 
• Apakah kelemahan kita : “Kelemahan jiwa kita ialah, kita kurang percaya kepada diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, pada hal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong. [Pidato HUT Proklamasi, 1966].

 
• Pancasila kecuali suatu Weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan dan siapa tidak mengerti bahwa kita hanya dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Panca Sila. [Pancasila sebagai dasar negara].

 
• Ada orang berkata, pada waktu Bung Karno mempropagandakan Pancasila, pada waktu itu ia menggalinya kurang dalam. Tapi saya terus terang katakan “Saya menggalinya dari empat saf : Saf pra Hindu, saf Hindu, saf Islam dan saf Imperialis.” [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 42].
• Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 38].

 
• Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya ? Kalau pada garis besarnya telah saya gogo, saya selami, rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 49].

 
• Kalau Saudara tanya kepada saya personlijk apakah Bung Karno betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya kepada adanya Tuhan. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 48].
• Kita, sayapun adalah orang Islam, maaf beribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan mellhat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam musyawarah. Dengan mufakat kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atas permusyawaratan dalam Badan Perwakilan Rakyat. [Pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945].

 
• 1. Pancasila, as the sublimation of Indonesia’s unity of soul. 2. Pancasila, as the manifestation of the unity the Indonesian nation’s and territory. 3. Pancasila, as WELTANSCHAUUNG in the Indoneslan nation’s way of life, nationallty and internationally. [Kata Pengantar Bung Karno dalam buku Lahirnya Pancasila, edisi Bahasa Inggeris, 1 Juni 1964 hlm. 5].

 
• I am not a maker of Pancasila. I am not a creator of Pancasila. I merely put into words some feelings existing among people, to which I gave the name of Pancasila. I dug in the ground of the Indonesian people and I saw in the heart of the Indonesian nation that there were five feelings there …. I formulated what we know to day as Pancasila. I merely formulated it because these five feelings had already lived for scores of years, even hundreds of years in our innen most hearts. [Kata Pengantar Bung Karno dalam buku Lahirnya Pancasila, edisi Bahasa Inggeris, 1 Juni 1964 hlm. 43].

 
• Saya berjuang sejak tahun 1918 sampai dengan 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung. Untuk membentuk Nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri kemanusiaan, untuk permusyawaratan, untuk socialrecht-vaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya berpuluh tahun. [Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945].

 
Tentang Sukarno

• …. Di dalam cita-cita politikku, aku ini seorang nasionalis, dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan. [Kepada bangsaku]. 
• Ya., saya tahu bahwa saya sering dicemooh orang yang tidak senang kepada saya, bahwa saya adalah katanya “manusia perasaan”, gevoelsmens, dan bahwa saya di dalam politik terlalu bersifat “manusia seni”, terlalu bersifat artis. Alangkah senangnya saya dengan cemoohan itu! Saya mengucapkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa saya dilahirkan dengan sifat-sifat gevoels-mens dan artis, dan saya bangga bahwa Bangsa Indonesia pun adalah satu “Bangsa perasaan” (satu gevoelsvolk) dan Bangsa Artis – satu artisenvolk. [Pidato HUT Proklamasi, 1963].
• Semua orang tahu bahwa aku ini penggemar seni rupa, baik patung, lukisan-lukisan maupun yang lain-lain. Aku lebih suka lukisan Samudera yang gelombangnya memukul-mukul, menggebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem-ayem-tentrem, “kadyo siniram wayu sewindu lawase”. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

 
• Oemar Said Tjokroaminoto berumur 63 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Tjokro mengajarkan tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadinya aku kelak. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 52 ].

 
• Dr. Douwe Dekker, Setiabudi ketika umurnya sudah 50 tahun menyampaikan kepada partainya N.I.P. “Umur saya semakin lanjut, dan bila datang saatnya saya akan mati bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi pengganti saya. Anak muda ini, akan menjadi Juru Selamat dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang”. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 67].

 
• Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet, onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is. Orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia mau, orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia tahu, orang hanya bisa mengajarkan apa ia adanya. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 514 ].

 
• Demokrasi kita harus kita jalankan adalah Demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 105].

 
• Parlementaire Demokrasi adalah ideologi politik dari pada Kapitalisme yang sedang naik. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 91]. 

 
• Aku bersemboyan; Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia. [Pidato HUT Proklamasi, 1964].

 
• Ramalan kedua dari Pak Tjokro, satu malam di tengah keluarga, dia berbicara, “Ikutilah anak ini dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar Kita”: [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 68].

 
• Pada satu waktu saya sampai kepada suatu saat memerlukan satu nama umum bagi semua yang kecil-kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain-lainnya, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil-kecil semuanya. Lantas saya beri nama kepada semuanya itu Marhaen! [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 25].
• Ilmu hanyalah ilmu sejati, jikalau ilmu itu ialah untuk membawa kebahagiaan kepada manusia. [Menggali api Pancasila, hlm. 15].
• Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat. [Menggali api Pancasila, hlm. 11].

• Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, nafasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 13].

 
• Dan saya sadar sampai sekarang ini, “the service of freedom is a deathless service”. Badan manusia bisa hancur …., tapi ia punya “service of freedom” tidak bisa ditembak mati. [Kata-Kata Pribadi Presidan Sukarno Dalam Sidang MPRS Ke-IV 1966].

 
Tentang wanita

 
• Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal W a n i t a. Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan! Tetapi, ya kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan yang di kehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak, menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay? [Sarinah, hlm. 8].

 
• Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan lakilaki. Dan soal perempuan adalah suatu soal masyarakat dan negara. [Sarinah, hlm. 14].
 
• Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang sstu menindas saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di atas yang lain, tetapi dua “saf” itu sama derajat, berjajar yang satu dengan yang lain, yang satu memperkuat yang lain. Tetapi masing-masing menurut kodratnya Beograd. [Sarinah, hlm. 15].

 
• Kaum laki-laki marilah kita memikirkan soal ini. Dan marilah kita ikut memikirkan soal perempuan sebab di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai perempuan. [Sarinah, hlm. 14].

 
• Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki perempuan yang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula. [Sarinah, hlm. 17].

 
• Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam suatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. [Sarinah, hlm. 17].

 
• Atau benar pula perkataan Baba O´llah, yang menulis bahwa: “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya se-ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai kepuncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” [Sarinah, hlm. 17/18].

• Sungguh benar perkataan Charles Fourier kalau ia mengatakan: “bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu”. [Sarinah, hlm. 17].
• Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidak adilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka Matriarchat membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas kepada yang lain, tak peduli fihak mana yang menindas dan tak peduli fihak mana yang tertindas. Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya. [Sarinah, hlm. 41].

 
• Saya bukan pecinta matriachat, saya adalah pecinta patriarchat bukan karena saya seorang laki- laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama dari Matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan. [Sarinah, hlm. 41].

 
• Saya pecinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat, itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patriarchat yang “parental”. [Sarinah, hlm. 41].

 
• Maha bijaksana Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistem kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengerti akan “h i k m a h” patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan. [Sarinah, hlm. 42].

 
• Laki-laki hanya terjepit sebagai machluk-sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tetapi perempuan aadalah terjepit sebagai machluk sosial dan sebagai machluk per-seksean. [Sarinah, hlm. 24/25].

 
• Bagaimanakan masyarakat yang tuan cita-citakan? Saya menjawab: “di dalam masyarakat yang saya cita- citakan itu tiap-tiap orang laki-laki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami. Ini kedengarannya mentah sekali, tuan barangkali akan tertawa, atau mengangkat pundak, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? di dalam masyarakat yang “struggle for life” tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, niscaya “persundalan” boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi luar biasa dan bukan suatu kanker sosial yang permanent yang banyak-korbannya. [Sarinah, hlm. 23/24].

• Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat penting. [Sarinah, hlm. 15].

 
• Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki. [Sarinah, hlm. 40].
• Bukan lagi “kepribadiannya” wanita yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaan, “sex-appealnya”. Keelokannya itu kini menjadi senjata ekonomi, fungsi kelaminnya itu menjadi fungsi ekonomi. [Sarinah, hlm. 67].

 
• Tiga sifat/hal yang dituntut dari seorang wanita yang sejati lalah: ya ibu, ya isteri, ya kawan seperjuangan (kawan hidup di dalam masyarakat). Jikalau wanita bisa mengumpulkan tiga hal ini, baru dapat disebut wanita sempurna. [Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960].

 
• Wanita itu, seperti kata pemimpin wanita Henriete Roland Holst van der Schalk: “Wanita itu seperti seekor keledai yang menarik dua kereta”. Bebannya dua, bukan satu. Beban di masyarakat, dan beban di rumah tangga. Wanita tidak bisa menjadi manusia masyarakat saja. Wanitapun ingin menjadi manusia rumah- tangga, ingin menjadi manusia ibu, ingin menjadi manusia-isteri.” [Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960].

 
• Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku, buat engkaulah aku goyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjuanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu. Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebagai tadipun telah kukatakan, “tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita Beograd.” [Sarinah, hlm. 326].

• Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, jangan juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya. Inilah kata perakataan Ki Hadjar Dewantara. [Sarinah, hlm. 4].
• Orang Inggeris ada mempunyai syair yang bunyinya: Man works from rise to set-of sun. Woman’s work is never done. Laki-laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam. Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam. Ini syair adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. [Sarinah, hlm. 77].

 
• Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang ! Sekarang ikutlah, serta -mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik dan nanti jika Republik sudah selamat, ikutlah serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. [Sarinah, hlm. 328].

 
• Janganlah ketinggalan dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang Merdeka! [Sarinah, hlm. 329].

No comments:

Post a Comment