Tuesday, August 17, 2010

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Melakukan Dosa Besar

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Melakukan Dosa Besar

Orang yang tergelincir ke dalam dosa besar seringkali melenting ke atas melampaui kedudukan dahulu. Dengan kata lain, dosa dan maksiat seringkali menjadi momentum untuk lebih dekat dengan Tuhan, mengapa?
Bagaimana menjadikan dosa sebagai anak-anak tangga menuju Tuhan?
Dosa dan maksiat bukan sahaja perbuatan tercela dan dilarang, melainkan juga membutakan mata hati, memadamkan nurani. Lebih dari itu, dosa dan maksiat juga membawa kegelisahan sehingga ketenangan hidup terganggu. Jelasnya, dosa dan maksiat merendahkan darjat dan high kemanusiaan. Semua yang dilarang Tuhan adalah musuh kemanusiaan dan semua yang diperintahkan dan dianjurkan Tuhan demi untuk martabat kemanusiaan. Tuhan tidak butuh untuk disembah, tetapi manusialah yang memerlukan penyembahan itu, kerana di balik penyembahan dan ketaatan itu tersimpan hikmah dan pelbagai kemaslahatan untuk manusia dan kemanusiaan.

Seandainya semua manusia mogok untuk menyembah kepada-Nya maka tidak sedikit pun mengurangkan keupayaan dan kewujudan-Nya sebagai Tuhan. Sebaliknya seandainya semua manusia taat kepada-Nya bagaikan malaikat sekalipun maka tidak akan berpengaruh terhadap Dirinya.

Perintah dan larangan Tuhan adalah bukti keMaha-pengasih dan penyayang-Nya terhadap hamba-Nya, khususnya kepada manusia, yang diberikan spesifikasi khusus sebagai khalifah, wakil Tuhan di jangat raya ini.

Walaupun diberi kekhususan sebagai khalifah, manusia tetap sebagai hamba ('abid) yang harus menyembah kepada Tuhan, sebagaimana halnya makhluk-makhluk lain. Konsekwensi tugas kekhalifahan yang diemban manusia, Allah menundukkan seluruh alam semesta kepadanya, bahkan di dalam penciptaan awal manusia (Adam), para makhluk diperintahkan hormat dan sujud kepadanya sebagai bukti kehebatan dan keutamaan manusia.

Memang ada yang membangkang dan keberatan untuk sujud, iaitu Iblis bersama komuniti, makanya mereka dikutuk. Untuk mencari parner di neraka, maka mereka diberi kesempatan untuk menggoda manusia sampai akhir zaman.
Konsep penundukan alam semesta (taskhir) tidak boleh diertikan semacam "SIM" untuk mengeksploitasi alam raya melampaui daya dukungnya. Alam raya tidak akan tunduk dan tidak lagi akan bersahabat kepada manusia manakala melampaui batas-batas yang telah digariskan Tuhan. Allah SWT bukan hanya Tuhan manusia sebagai makhluk mikrokosmos tetapi juga Tuhan alam raya sebagai makhluk makrokosmos.

Realasi makhluk mikrokosmos dan makhluk makrokosmos adalah relasi kekhalifahan. Sedangkan hubungan mikrokosmos-makrokosmos dan Tuhan adalah hubungan penghambaan. Oleh itu, dosa tidak boleh dimaknai hanya sebagai masalah hubungan menegak antara makhluk dengan Sang Khaliq, tetapi dosa juga berkaitan dengan masalah hubungan horizontal antara sesama makhluk. Dan makhluk di sini bukan hanya sesama manusia, apa lagi hanya sebatas sesama muslim, tetapi juga sesama makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk benda mati. Bukankah kata "benda mati" itu hanya ada dalam kamus manusia? Bagi Tuhan dan para malaikatnya, tidak ada istilah benda mati. Semunya itu bertasbih dan menyembah Tuhan, hanya kita yang tidak memahami tasbih dan bentuk ibadah mereka.

Demikian kesimpulan di dalam berbagai ayat Al-Quran. Dosa dan maksiat memang mejatuhkan dan menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan, tetapi kalau itu disedari dalam bentuk kesedaran puncak (taubat nashuha), maka tidak mustahil itu melentingkan kembali yang bersangkutan ke atas, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada kedudukannya semula.

Dosa dan maksiat sangat berpotensi dan boleh dijadikan titik masuk seseorang untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Tidak jarang para pendosa yang taubat justru lebih baik dari pada orang-orang biasa. Ini mungkin disebabkan kerana
ia sudah mampu membandingkan betapa jauh jaraknya antara suasana batin yang taat dan yang derhaka kepada-Nya.

Namun ini tidak bererti sebuah ajakan kepada kita untuk mencicipi dosa guna meningkatkan kesedaran dan keimanan, sebab betapa banyak bahkan jauh lebih banyak para pendosa jatuh dan tidak melenting ke atas, melainkan bagaikan bola yang jatuh di dalam lumpur, tidak lagi melenting ke atas, malah justru terbenam di dalam lumpur kehinaan.

Para pendosa yang berpotensi melenting ke atas ialah mereka yang karena dosa dan maksiat yang dilakukannya betul-betul membuat dirinya terpukul dan kecewa, mengapa dirinya harus melakukan sesuatu yang amat bodoh di dalam hidupnya. Oleh itu ia menyesal sejadi-jadinya sambil menjalani proses pembersihan diri dengan penuh ketekunan.

Menurut Imam Gazali, dalam kitab Ihya '`Ulum al-Din, seorang pendosa diminta untuk tidak sekadar istighfar (membaca lafaz istighfar) melainkan harus menjalani rangkaian proses taubat, iaitu:

Memperbanyak mengucap istighfar,
dengan segera meninggalkan dosa dan maksiat itu,
menyesal sejadi-jadinya terhadap kekeliruan yang telah dilakukannya,
bertekad dan berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan tercela itu dalam hidupnya,
menukar dan menutupi perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal-amal kebajikan yang ikhlas,
kalau dosa itu berupa mengambil hak orang lain, maka harus segera mengembalikannya secepat mungkin,
menghancurkan daging yang bertumbuh di dalam dirinya yang berasal dari produk haram dengan cara melakukan riyadhah dan mujahadah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam usaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.
secepat mungkin telah meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti atau dikecewakan itu. Jika ini semuanya dipenuhi maka seseorang berhak mendapat pengampunan Allah terhadap dirinya.
Banyak pendosa yang telah melakukan ladders pertobatan itu dengan baik dan tekun. Mereka selalu manangisi dosa masa lampaunya di dalam sujud tahajjudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat kembali berbagai dosa yang pernah dilakukannya.

Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Allah SWT. Ada ulama yang pernah mengatakan bahawa: "Air mata taubat itulah yang akan memadamkan api neraka. Bahkan Allah SWT mencintainya, sebagaimana hadis yang pernah dikutip Al-Gazali dalam kitabnya: "Allah lebih senang mendengar jeritan taubatnmya para pendosa ketimbang gemuruh memujiNya para ulama".

Dalam Al-Quran juga ditegaskan bahawa "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah / 2:222). Yang penting bagi yang bersangkutan tidak mempermainkan Tuhan dengan pembatalan-pembatalan taubat.

Seorang sufi, Yahya bin Muaz pernah berkata: "Melakukan satu perbuatan dosa selepas taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat". Perkataan Dzun Nun: "beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskankan diri dari dosa itu adalah taubatnya para pendusta. Sesiapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya, maka ia termasuk orang bahagia ". Subhanallah, alangkah beruntungnya orang yang demikian ini.
Bagi para pendosa tidak sepantasnya putus asa terhadap dosa-dosanya. Sebesar apapun dosa seseorang pasti jauh lebih besar pengampunan Tuhan. Tidak ada artinya dosa besar jika yang datang adalah wajah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Yang penting bagi kita adalah penyerahan diri secara total terhadapnya. Terserah Dia. Jika Dia akan memasukkan kita ke dalam neraka itu adalah hak-Nya, tetapi tidak ada yang boleh menghalang-Nya jika Dia akan memaafkan hamba-Nya.

Apakah Dia akan menyeksa hamba-Nya yang sudah rebah dan bersujud di hadapan kebesaran-Nya sambil menangis memohon ampun dan berserah diri sepenuhnya kepada-Nya. Bukankah Dia lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun, berbanding sebagai Tuhan Maha Pemarah dan Maha penghukum. Tidak sedikit para pendosa mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan.

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Kita Ditimpa Musibah dan Kekecewaan

Apa hakikat musibah itu?
Bagaimana menjadikan musibah sebagai surat cinta Tuhan?
Bagaimana bersahabat dengan musibah?
Bagaimana Al-Quran & Hadis berbicara tentang musibah dan kekecewaan?
Musibah boleh dibezakan dengan azab dan bala. Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar kehidupan masa depan kita dapat dijalani dengan lebih baik. Musibah tidak hanya menimpa bagi para pendosa tetapi juga orang-orang yang soleh. Berbeza dengan azab, azab yang hanya diperuntukkan kepada mereka yang derhaka seperti azab yang pernah ditimpakan umat-umat terdahulu.

Azab tidak menimpa orang yang soleh, seperti Banjir Nuh yang hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh yang derhaka sedangkan dirinya bersama pengikut setianya selamat. Begitu juga umat Nabi Shaleh, ia bersama-sama umat setianya selamat dari wabak wabak yang menimpa kaumnya, juga datuknya Nabi, Abdul Mutalib selamat dari keganasan thair ababil yang memporakporandakan pasukan Abraham.

Sedangkan bala, hampir sama dengan musibah, hanya skalanya lebih personal dan berkaitan dengan human error atau berkaitan rapat dengan hukum sebab-akibat. Misalnya kerana kecuaian dan kelengahan maka seseorang mengalami kemalangan.

Musibah di sini boleh dicontohkan dengan salah seorang ahli keluarga tercinta kita meninggal dunia, doktor memvonis kita menderita penyakit akut, atau mendapatkan fitnah keji dari orang lain, atau menghadapi kekecewaan berat, misalnya gagal dipromosi, gugur dalam seleksi, dijauhi oleh teman, dan lain-lain.

Kondisi batin seperti ini pasti sangat menyakitkan dan membuat orang menjadi putus asa serta kehilangan optimisme dan harapan hidup. Bahkan keadaan seperti ini seringkali membuat seseorang berfikir atau melakukan penyelesaian jalan pintas misalnya dengan nekat bunuh diri, menjauh dari keramaian, dan hanyut di dalam kesengsaraan, atau menceburkan diri di dalam kehidupan gelap seperti mengkonsumsi obat penenang memusnah seperti dadah dan sejenisnya.

Bagi orang yang beragama, cara terbaik yang harus dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita harus yakin bahawa sebanyak apapun sebuah problem pasti itu masih tetap di ambang batas kemampuan daya dukung hamba-Nya.

Allah Swt, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak mungkin membebankan sesuatu di luar batas kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.

"Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS al-Baqarah / 2:286).

Dalam perspektif tasawuf, musibah atau kekecewaan hidup adalah salah satu wujud "surat cinta" Tuhan kepada hamba-Nya. Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya, tetapi yang bersangkutan terkecoh dan tersesat dengan kesenangan duniawinya. Akhirnya Tuhan mengutus musibah atau kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara efektif kembali kepada Tuhannya.

Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan atau dalam keadaan berkecukupan seringkali lebih sukar untuk melakukan pendakian (taraqqi) kepada Tuhannya, kerana semua keperluannya dipenuhi.

Dalam keadaan seperti ini banyak orang yang lalai untuk berdoa. Ibadah yang dilakukan sebatas kewajiban, bukan betul-betul kerana mencintai Tuhannya. Tingkat kekhusyukan ibadahnya dengan sendirinya lemah. Isu menyikapi musibah kita harus tawakkal, menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya kepada Allah SWT. Kita harus yakin bahawa musibah dan kekecewaan ini adalah pilihan terbaik Tuhan untuk kita.

Allah SWT mencintai hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari azab lebih pedih dan lebih lama. Nabi pernah bersabda: "Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit, kesulitan hidup, kesengsaraan, hingga semisal duri yang menusuk kakinya, melainkan itu semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa lampau" (Hadis Muttafaq 'Alaih / sangat shahih).

Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah bersabda: "Jika Allah SWT menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Ia menyegerakan azab-Nya (di dunia) dan jika Allah SWT menghendaki sebaliknya kepada hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di hari kiyamat" (Hadis dari Anas, daripada Turmudzi).

Musibah dan kekecewaan tidak mesti diangkat terlalu lama, bahkan sebaliknya kita perlu mengambil hikmah yang amat penting darinya. Seringkali kita harus bersyukur bahawa musibah memang membawa kekecewaan hidup tetapi pada masa yang sama kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus diri kita dengan Tuhan.

Bahkan kedekatan itu tidak pernah dirasakan sebelum ini. Seringkali justru rasa kedekatan itu lebih menonjol berbanding rasa kekecewaan itu. Ini artinya musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai "surat cinta" Tuhan kepada kekasih-Nya.

Semenjak musibah itu berlaku, semenjak itu terjadi perubahan jumlah keseluruhan hubungan diri kita dengan Tuhan. Sebelumnya kita berjarak dengan Tuhan tetapi dengan musibah itu kita tidak lagi mahu berpisah dan berjarak dengan Tuhan.

Musibah kita sikapi dengan tawakkal dan mengikhlaskan diri kita kepada-Nya. Semua itu sudah suratan takdir dan telah tercatat di dalam buku blue print (lauh Mahfudz). Jalanilah kehidupan ini dengan datar dan lurus. Kekuatan tawakkal dan ikhlas akan memberikan power dan keajaiban di dalam diri kita. Ini jaminan Tuhan: "Jangan berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS al-Taubah / 9:40).

Isu menjalani dan mempertahankan sikap tawakkal dalam diri kita, diajarkan oleh kalangan guru-guru tasawuf, dengan menghayati secara mendalam dua kalimah syahadah. "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah". Dengan diawali kalimat negasi, menafikan segalanya, kalau perlu menafikan kewujudan wujud kita sendiri. Seolah-olah yang ada dan eksis di jagat ini hanyalah Dia, Allah SWT. Kita melenyapkan hakikat dan substansi diri kita lalu larut kepada suatu Wujud Yang Maha Abadi. Kita bagaikan mayat yang hanyut di sungai, ke mana pun sungai itu bermuara di situlah kita akan dibawa. Terimalah dirinya apapun adanya, kerana semua orang membawa takdir dirinya masing-masing.

Ma'rifah seperti ini lebih mudah muncul ketika kita sedang sujud di atas hamparan sajadah di hadapan kebesaran Allah SWT. Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu, hilangkanlah semuanya, kalau perlu lupakanlah kewujudan dirinya, seolah-olah yang ada hanyalah Dia Sendiri.

Tidak ada lagi sosok yang ditimpa musibah, tidak ada juga sosok orang yang mendatangkan musibah, tidak ada lagi dendam dan tidak ada lagi yang sakit. Semuanya kembali dan menyatu dengan-Nya. Seolah musibah itu datang untuk menghapuskan memori gelap masa lampau kita.

Ikhlas yang sesungguhnya memberikan rasa optimisme ke dalam diri setiap orang. Orang yang menjalani keikhlasan penuh tidak akan pernah merasa sedih, sakit, lelah, dan kecewa, kerana semua yang dilakukan semata-mata kerana Allah SWT. Karya dan pengabdian yang dilakukan bukan kerana Allah SWT itulah yang sering menyedut tenaga batin seseorang. Yang bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.
Bahkan sakit kerana harapannya berbeza dengan respons yang diberikan orang lain terhadapnya. Jika semunya kita niatkan seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT maka hidup ini pasti tenang, tidak akan merasa kecewa, tidak akan bersedih, tidak pernah merasa jatuh, dan mungkin tidak akan pernah lagi kita merasa sakit.

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Mempunyai Keperluan Besar

Orang kepepet dan mempunyai hajat yang besar biasanya berdekatan dan berharap banyak kepada Tuhan, mengapa?
Bagaimana menstabilkan emosi disaat-saat sedang terdesak?
Apa yang harus dilakukan sebagai umat beragama dan bagaimana resepnya untuk keluar dengan tenang dari kesulitan hidup?
Ketika seseorang mempunyai hajat dan keperluan besar apalagi sangat mendesak, pada saat itu lah orang seringkali melakukan sesuatu yang luar biasa. Contoh hajat besar dalam kehidupan sehari-hari kita ialah ibubapa sakit keras dan jiwanya terancam sementara tidak punya wang untuk menebus resep obat dari dokter. Anak terancam akan di keluarkan (DO) jika bayaran SPP tidak dilunasi hari itu. Bertemunya berbagai kepentingan mendesak dalam masa yang sama, seperti kontrakan rumah perlu dibayar, hutang jatuh tempo, sementara anak sakit keras. Hal-hal seperti ini seringkali membuat seseorang merasa tersisih dan terpojok.

Dalam mengatasi hajat dan keperluan mendesak itu, ada orang yang memilih untuk menempuh segala cara tanpa mempedulikan apakah itu halal atau haram, apakah melanggar undang-undang atau tidak, yang penting adalah pemenuhan hajat dan keperluannya terwujud. Cara-cara seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang biasa tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang relatif memiliki status sosial yang lebih baik. Ada juga orang berusaha menenangkan dirinya sendiri di samping berusaha secara tambahan sambil memohon petunjuk dan pertolongan Allah SWT.

Tidak mudah membezakan atara hajat dan keperluan besar dan mendesak dengan yang bukan kerana ukurannya sangat subjektif. Mungkin seseorang menganggap suatu hajat dan keperluan besar, tetapi bagi orang lain tidak. Jadi jenis, tahap, kuantiti, dan high keperluan itu sangat ditentukan oleh orang per orang.

Di dalam Islam, hajat dan keperluan itu dibezakan atas tiga tingkatan. Pertama disebut keperluan kecemasan atau keperluan yang bersifat primer meliputi lima keperluan asas (dharuriyyat al-Khamsah) yang harus dipertahankan, iaitu agama, jiwa, akal, martabat keturunan, dan harta.

Seseorang dipandang mati syahid dan terbebas dari hukuman manakala seseorang melakukan tindakan pembelaan terhadap salah satu dari kelima keperluan asas tersebut. Islam melarang syirik untuk memelihara agama. Islam melarang pembunuhan untuk memelihara jiwa. Islam melarang minuman keras untuk memelihara akal. Islam melarang zina untuk memelihara keturunan. Dan, Islam melarang pencurian untuk memelihara harta.

Kedua, keperluan hajjiyat atau keperluan sekunder, iaitu keperluan yang mendesak tetapi belum sampai pada tahap dharuriyat, contohnya keperluan seseorang akan rumah, telpon, dan kenderaan.

Ketiga, keperluan tahsiniyat atau luxury, iaitu keperluan assessoris kehidupan. Keperluan ini tidak memengaruhi kewujudan kehidupan tetapi lebih merupakan pelengkap, seperti rumah asri, kenderaan dan pakaian yang berjenama (branded).

Secara kesimpulannya, ketiga-tiga tahap keperluan itu bisa dipilah dan dibezakan. Tetapi secara emosional, masing-masing orang meresponinya berbeza-beza. Boleh jadi keperluan tahap ketiga (tahsiniyat) tetapi orang-orang tertentu meresponinya berlebihan, melebihi responnya terhadap ketika tingkatan keperluan di atasnya.

Dalam Islam, memang ada kaedah yang mengatakan bahawa "hajat yang mendesak menduduki kedudukan kecemasan" (al-haajah tanzilu manzilah al-dharurah), sementara "kecemasan itu membolehkan sesuatu yang tadinya tidak boleh" (al-dharurah tubih al-makhdhurat).

Namun yang dipilih di dalam kaedah itu ukurannya bukan selera atau mengekalkan prestij tetapi betul-betul melibatkan kelangsungan kewujudan kewujudan dan keupayaan manusia sebagai hamba atau sebagai khalifah.

Hajat yang besar boleh didedahkan dalam suasana batin betapa terasa kemahakuasaan Tuhan pada satu sisi dan betapa keterbatasan dan kelemahan hamba pada sisi lain.

Relasi kehambaan seorang manusia dengan Tuhanya lebih terasa bagi seseorang yang menghadapi keperluan dan kesulitan besar. Kebesaran dan keagungan Tuhan akan lebih terasa bagi seseorang yang sedang berhadapan dengan keganasan alam, seperti berhadapan dengan ombak besar di tengah laut, dalamnya goa yang gelap gulita, gemuruh suara petir yang menggelepar, kencangnya angin puting beliung, dahsyatnya taufan salji yang menusuk tulang, atau di tengah pelbagai jenis gempa bumi. Semua orang merasa butuh pertolongan Tuhan ketika itu.

Isu untuk mendapatkan hikmah dan sekaligus jalan keluar terhadap hajat dan keperluan yang sedang kita alami ialah dengan cara menguatkan semangat raja ', iaitu rasa keperluan yang amat sangat terhadap pertolongan dan perlindungan Tuhan. Ketergantungan kita kepada Tuhan begitu besarnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi dewa penolong lain selain hanya Allah SWT. Diri kita terasa tidak ada apa-apanya sementara Tuhan terasa Maha Segalanya. Sikap raja 'diawali dengan rasa takut (Khauf) kepada Allah SWT.

Seringkali di tengah perjalanan tadinya hajat dan keperluan seorang hamba adalah sesuatu yang bersifat material atau duniawi tiba-tiba beralih kepada Tuhan, seolah tadinya yang menjadi hajat besarnya adalah jalan keluar dari kesulitan kehidupan dunianya tiba-tiba itu hanya menjadi keperluan sekunder atau keperluan aksessoris. Yang menjadi keperluan dan harapan utama ialah redha Allah SWT. Dalam keadaan batin seperti ini seorang hamba berpotensi menjalin kedekatan diri dengan Tuhan mereka. Dengan kata lain, hajat dan keperluan menjadi perantara berkesan antara hamba dengan Tuhannya.

Isu selanjutnya tentu saja adalah doa. Tanpa doa seseorang akan dinilai angkuh dan sombong, seolah-olah yang bersangkutan tidak memerlukan Tuhan di dalam mewujudkan hajat dan keperluannya.

Etika berdoa ialah sedapat mungkin badan dan jiwa kita bersih. Disarankan berwudhu lalu membersihkan hati dan meluruskan jalan fikiran serta diringi perasaan tawadhu dan raja 'kepada Allah Swt. Doa diawali dengan lafaz tahmid dan puji-pujian kepada Allah SWT, kemudian selawat kepada Rasulullah SAW, kemudian masuk ke bahan hajat kita, memohon berkat dari apa yang diharapkan, lalu ditutup dengan surah Al-Fatihah.

Isu lain boleh diiringi dengan nazar, iaitu komitmen tertentu kepada Allah yang akan kita lakukan jika hajat dan harapan kita dikabulkan. Misalnya kalau hajat dan harapan saya dikabulkan saya akan memberi makanan kepada 60 orang yatim piatu atau berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT. Nazar bias menjadi triggle atau tenaga pendorong doa ke langit. Namun disarankan nazar ini dilakukan tidak terlalu sering sehingga menimbulkan kesulitan diri sendiri, kerana nazar wajib untuk direalisasikan.

Kesimpulannya, hajat dan keperluan besar kita berpotensi untuk lebih mendekatkan seorang hamba kepada Tuhan. Hajat perlu dicermati agar tidak sebaliknya, menjerumuskan kita ke perbuatan yang tercela.

Hajat kita dapat dimohonkan kepada Allah dalam bentuk doa dan kalau perlu dengan nazar. Hajat paling besar bagi seorang hamba adalah mendapat redha Allah SWT. Jangan sampai hajat besar kita yang bersifat duniawi menenggelamkan hajat kita yang sesungguhnya paling besar ialah taqarrub, berdekatan sedekat mungkin dengan-Nya.

Alhamdulillah, berbahagialah orang yang boleh mendapatkan kedua-dua hajat tersebut.

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Kita Sedang dalam Keadaan Muzik

Orang yang serba berkecukupan seringkali sukar beribadah secara khusyuk dan merasa tidak akrab dengan Tuhannya, walaupun melakukan berbagai ketaatan dan ibadah, kenapa?
Bagaimana dan apa kiatnya untuk mendapatkan kedekatan diri dengan Tuhan dalam keadaan seperti ini?
Kondisi batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal. Ketika semua keperluan mencukupi apalagi berlebihan. Musibah, hajat, dosa besar, dan pelbagai kesulitan dan kekecewaan hidup yang lain lebih kerap mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT berbanding keadaan batin yang sedang berkecukupan, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif.

Tingkat keperluan hidup setiap orang berbeza-beza satau sama lain. Namun wacana di dalam Islam dibezakan atas beberapa tingkatan keperluan, iaitu:

Keperluan dharury, yakni keperluan asas atau basic needs seperti keperluan akan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri.
Keperluan hajjiyat, yakni keperluan yang penting tetapi belum menjadi keperluan asas, seperti keperluan akan sebuah tempat tinggal, kedaraan, dan alat komunikasi.
Keperluan tahsiniyyat, yakni keperluan yang bersifat pelengkap (luxury), seperti perabot yang bermerek, aksessoris kenderaan, dan handphone yang lebih canggih.
Seseorang yang berada dalam peringkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati kerana perjalanan spiritual dalam keadaan seperti ini seringkali jalan di tempat. Bahkan berpeluang untuk diajak turun oleh pelbagai daya tarikan dan godaan dunia.

Berbeza jika seseorang sedang dirundung duka, sedang diuji dengan keperluan mendesak, atau sedang dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak bertahan terhadap godaan-godaan yang bersifat kebendaan.

Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sukar mendaki (taraqqi) ke langit. Sebagai contoh, orang yang berkemampuan sukar sekali berlama-lama khusyuk dalam solatnya, bukan hanya kerana banyaknya godaan dunia yang ada dalam fikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.

Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat memerlukan pertolongan Tuhan. Seperti orang yang merasakan kesulitan yang secepat mungkin perlu mengeluarkan diri dari kesulitan itu.

Itulah sebabnya Rasulullah pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madzlum) kerana doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan. Memang dalam Islam dikenali ada dua sayap berkesan yang boleh menerbangkan seseorang menuju Tuhan, iaitu sayap sabar dan sayap syukur.

Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cubaan berat dari Tuhan seperti musibah, penyakit kronik, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup. Jika sabar menjalani cubaan itu, maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan.

Sayap kedua ialah syukur. Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri berbagai kurnia dan nikmat-nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezeki melimpah, jawatan penting, dan kesihatan prima.

Sayap sabar dan sayap syukur sama-sama boleh Mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan, tetapi pada umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah-olah mempunyai tenaga tambahan yang boleh melejitkan seseorang. Tenaga tambahan itu tidak lain adalah rasa butuh yang amat sangat terhadap Tuhan (raja '), penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakkal), dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).

Ketiga tenaga tambahan ini biasanya sukar terwujud di dalam diri orang yang berkemampuan. Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua keperluan hidup serba berkecukupan.

Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sementara ia terperangkap di dalam dunia populariti. Bagaimana mungkin melakukan olah batin sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk beribadah sementara perutnya kekenyangan.

Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan enjoy dengan kehidupan seperti itu adalah sah-sah saja. Akan tetapi jika dia lupa bahawa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat, maka pertanda hidup itu tidak berkat baginya. Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar, kering, dan membosankan.

Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (al-gina ginan nafs). Tanpa harta dan kebahagiaan jiwa maka sesungguhnya tidak ada kekayaan dan kebahagiaan sejati.

Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan bahan-bahan, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif tetapi tetap efisien dan berkesan. "Dunia adalah cermin akhirat", demikian kata Hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang berjaya. Ibadah mahdlah seperti solat, zakat, haji, bahkan puasa, pun memerlukan cost. Semuanya perlu kos dan kos itu urusan dunia.

Isu mengatasi suasana batin yang berada dalam keadaan normal ialah menguatkan semangat raja 'dan mujahadah di dalam diri. Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Goa Hira, ketika dia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya Khadijah yang kaya, bangsawan dan serba berkecukupan.

Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana 'uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana hiruk pikuknya fikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan iktikaf di salah satu masjid, apalagi di dalam bulan suci Ramadhan.

Di dalam masjid kita berniat untuk beriktikaf kerana Allah. Di sanalah kita mengecoh fikiran dan tradisi seharian kita dengan membaca Al-Quran lebih banyak, solat, tafakkur dan berzikir. Niatkan bahawa masjid ini adalah goa Hira atau goa-Kahfi, yang pernah Mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khaidir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.

Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan merampas sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi kerana deposit dan kekayaan yang begitu melimpah hingga boleh diwarisi tujuh generasi, dikhuatiri yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah (dha ' if) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.

Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan pada jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam Barzah dan di alam baqa di akhirat.

Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan shadaqah, luruskanlah fikiran kita dengan zikrullah, dan Lembutkanlah jiwa kita tafakkur dan tadzakkur, tangguhkan pendirian kita di atas landasan shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahzan Innallaha ma'ana (Jangan bimbang, Allah bersama kita), Amin.

Mencermati Keadaan Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi

Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima keadaan batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang dalam keadaan normal.

Apa dan bagaimana isu-isu yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima keadaan batin ini, akan diterangkan di dalam lima tulisan bersambung Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi.

Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak kekal, kenapa?
Bagaimana isu mempertahankan maqam yang sudah semua dan sentiasa meningkat terus?
Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?
Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan usaha spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (Maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut antara lain: Taubat, shabr, qana'ah, wara ', syukr, tawakkal, redha, ma'rifah, mahabbah. Tiga maqam terkini sering dianggap sebagai maqam puncak.

Mujahadah dari akar kata jahada bermaksud berjuang dan bersungguh-sungguh.

No comments: