Tuesday, August 24, 2010

Hakikat Rahsia Shalat

Kaligrafi Salat
Bahwasanya diceritakan dari Abdullah Bin Umar r.a, katanya adalah kamu berduduk pada suatu orang kelak ke hadapan Rasulullah SAW, minta belajar ilmu Jibril a.s, daripada ilmu yang sempurna dunia dan akhirat, yaitu membiasakan dari hakikat didalam shalat lima waktu yaitu wajib bagi kita untuk mengetahuinya. Yang harus mereka ketahui pertama kali hakikat shalat ini supaya sempurna kamu menyembah Allah, bermula hakikatnya didalam shalat itu atas 4 (empat) perkara :

1. BERDIRI (IHRAM).
2. RUKU’ (MUNAJAH).
3. SUJUD (MI’RAJ).
4. DUDUK (TABDIL).


Adapun hakikatnya :

1. BERDIRI ( IHRAM) itu karena huruf ALIF asalnya dari API, bukan api pelita dan bukan pula api bara. Adapun artinya API itu bersifat JALALULLAH, yang artinya sifat KEBESARAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :

• KUAT.
• LEMAH.

Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga, karena hamba itu tidak mempunyai KUAT dan LEMAH karena hamba itu di-KUAT-kan dan di-LEMAH-kan oleh ALLAH, bukannya kudrat dan iradat Allah itu lemah. Adapun kepada hakikatnya yang sifat lemah itu shalat pada sifat kita yang baharu ini. Adapun yang dihilangkan tatkala BERDIRI itu adalah pada segala AP’AL (perbuatan) hamba yang baharu.
2. RUKU’ (MUNAJAH) itu karena huruf LAM Awal, asalnya dari ANGIN, bukannya angin barat dan bukan pula angin timur. Adapun artinya ANGIN itu bersifat JAMALULLAH yang artinya sifat KEELOKAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :

• TUA.
• MUDA.

Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak mempunyai TUA dan MUDA. Adapun yang dihilangkan tatkala RUKU’ itu adalah pada segala ASMA (nama) hamba yang baharu.
3. SUJUD (MI’RAJ) itu karena huruf LAM Akhir, asalnya dari AIR, bukannya air laut dan bukan pula air sungai. Adapun artinya AIR itu bersifat QAHAR ALLAH yang artinya sifat KEKERASAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :

• HIDUP.
• MATI.

Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak pun mempunyai HIDUP dan MATI. Adapun yang dihilangkan tatkala SUJUD itu adalah pada segala NYAWA (sifat) hamba yang baharu.
4. DUDUK (TABDIL) itu karena huruf HA, asalnya dari TANAH, bukannya pasir dan bukan pula tanah lumpur. Adapun artinya TANAH itu bersifat KAMALULLAH yang artinya sifat KESEMPURNAAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :

• ADA.
• TIADA.

Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak ADA dan TIADA. Adapun yang dihilangkan tatkala DUDUK itu adalah pada segala WUJUD/ZAT hamba yang baharu, karena hamba itu wujudnya ADAM yang artinya hamba tiada mempunyai wujud apapun karena hamba itu diadakan/maujud, hidupnya hamba itu di-hidupkan, matinya hamba itu di-matikan dan kuatnya hamba itu di-kuatkan.

Itulah hakikatnya shalat. Barangsiapa shalat tidak tahu akan hakikat yang empat tersebut diatas, shalatnya hukumnya KAFIR JIN dan NASRANI, artinya KAFIR KEPADA ALLAH, ISLAM KEPADA MANUSIA, yang berarti KAFIR BATHIN, ISLAM ZHAHIR, hidup separuh HEWAN, bukannya hewan kerbau atau sapi. Tuntutan mereka berbicara ini wajib atas kamu. Jangan shalat itu menyembah berhala !!!.
INILAH PASAL

Masalah yang menyatakan sempurnanya orang TAKBIRATUL IHRAM, yaitu hendaklah tahu akan

MAQARINAHNYA.

Bermula MAQARINAH shalat itu terdiri atas 4 (empat) perkara :
1. BERDIRI (IHRAM).
2. RUKU’ (MUNAJAH).
3. SUJUD (MI’RAJ).
4. DUDUK (TABDIL).

Adapun hakikatnya :

 Adapun hakikatnya BERDIRI (IHRAM) itu adalah TERCENGANG, artinya : tiada akan tahu dirinya lagi, lupa jika sedang menghadap Allah Ta’ala, siapa yang menyembah?, dan siapa yang disembah?.
 Adapun hakikatnya RUKU’ (MUNAJAH) itu adalah BERKATA-KATA, artinya : karena didalam TAKBIRATUL IHRAM itu tiada akan menyebut dirinya (asma/namanya), yaitu berkata hamba itu dengan Allah. Separuh bacaan yang dibaca didalam shalat itu adalah KALAMULLAH.

Adapun hakikatnya SUJUD (MI’RAJ) itu adalah TIADA INGAT YANG LAIN TATKALA SHALAT MELAINKAN ALLAH SEMATA.

Adapun hakikatnya DUDUK (TABDIL) itu adalah SUDAH BERGANTI WUJUD HAMBA DENGAN TUHANNYA.

Sah dan maqarinahnya shalat itu terdiri atas 3 (tiga) perkara :
1. QASHAD.
2. TA’ARADH.
3. TA’IN.

Adapun QASHAD itu adalah menyegerakan akan berbuat shalat, barang yang dishalatkan itu fardhu itu sunnah.
Adapun artinya TA’ARRADH itu adalah menentukan pada fardhunya empat, tiga atau dua.
Adapun TA’IN itu adalah menyatakan pada waktunya, zhuhur, ashar, maghrib, isya atau subuh.
INILAH PASAL

Masalah yang menyatakan sempurnanya didalam shalat :
 Adapun sempurnanya BERDIRI (IHRAM) itu hakikatnya :
Nyata kepada AP’AL Allah.
Hurufnya ALIF.
Alamnya NASUWAT.
Tempatnya TUBUH, karena tubuh itu kenyataan SYARIAT.
Adapun sempurnanya RUKU’ (MUNAJAH) itu hakikatnya :
Nyata kepada ASMA Allah.
Hurufnya LAM Awal.
Alamnya MALAKUT.
Tempatnya HATI, karena hati itu kenyataan THARIQAT.
Adapun sempurnanya SUJUD (MI’RAJ) itu hakikatnya :
Nyata kepada SIFAT Allah.
Hurufnya LAM Akhir.
Alamnya JABARUT.
Tempatnya NYAWA, karena Nyawa itu kenyataan HAKIKAT.
Adapun sempurnanya DUDUK (TABDIL) itu hakikatnya :
Nyata kepada ZAT Allah.
Hurufnya HA.
Alamnya LAHUT.
Tempatnya ROHANI, karena ROHANI itu kenyataan MA’RIFAT.
Adapun BERDIRI (IHRAM) itu kepada SYARIAT Allah.
Hurufnya DAL.
Nyatanya kepada KAKI kita.
Adapun RUKU’ (MUNAJAH) itu kepada THARIQAT Allah.
Hurufnya MIM.
Nyatanya kepada PUSAT (PUSER) kita.
Adapun SUJUD (MI’RAJ) itu kepada HAKIKAT Allah.
Hurufnya HA.
Nyatanya kepada DADA kita.
Adapun DUDUK (TABDIL) itu kepada MA’RIFAT Allah.
Hurufnya MIM Awal.
Nyata kepada KEPALA (ARASY) kita.
Jadi Orang Shalat membentuk huruf AHMAD / MUHAMMAD.
INILAH PASAL

Asal TUBUH kita (jasmaniah) kita dijadikan oleh Allah Ta’ala atas 4 (empat) perkara :
1. API.
2. ANGIN.
3. AIR.
4. TANAH.

Adapun NYAWA kita dijadikan Allah Ta’ala atas 4 (empat) perkara :
1. WUJUD.
2. NUR ILMU.
3. NUR.
4. SUHUD.

Adapun MARTABAT Tuhan itu ada 3 (tiga) perkara :
1. AHADIYYAH.
2. WAHDAH.
3. WAHIDIYYAH.

Adapun TUBUH kita dijadikan Allah Ta’ala atas 4 (empat) perkara :
1. WADIY.
2. MADIY.
3. MANIY.
4. MANIKEM.

INILAH PASAL
Masalah yang menyatakan jalan kepada Allah Ta’ala atas 4 (empat) perkara :
1. SYARIAT. = AP’AL. = BATANG TUBUH.
2. THARIQAT. = ASMA. = HATI. DIRI
3. HAKIKAT. = SIFAT. = NYAWA. KITA
4. MA’RIFAT. = RAHASIA. = SIR.

Adapun hakikatnya :
SYARIAT itu adalah KELAKUAN TUBUH.
THARIQAT itu adalah KELAKUAN HATI.
HAKIKAT itu adalah KELAKUAN NYAWA.
MA’RIFAT itu adalah KELAKUAN ROHANI.

Adapun yang tersebut diatas itu nyata atas penghulu kita Nabi MUHAMMAD. Karena lafadz MUHAMMAD itu 4 (empat) hurufnya yaitu :
1. MIM Awal.
2. HA.
3. MIM Akhir.
4. DAL.

Adapun huruf MIM Awal itu ibarat KEPALA.
Adapun huruf HA itu ibarat DADA.
Adapun huruf MIM Akhir itu ibarat PUSAT (PUSER).
Adapun huruf DAL itu ibarat KAKI.
Adapun huruf MIM Awal itu MAQAM-nya kepada alam LAHUT.
Adapun huruf HA itu MAQAM-nya kepada alam JABARUT.
Adapun huruf MIM Akhir itu MAQAM-nya kepada alam MALAKUT.
Adapun huruf DAL itu MAQAM-nya kepada alam NASUWAT.

Sah dan lagi lafadz ALLAH terdiri dari 4 (empat) huruf :
1. ALIF.
2. LAM Awal.
3. LAM Akhir.
4. HA.

Adapun huruf ALIF itu nyatanya kepada AP’AL Allah.
Adapun huruf LAM Awal itu nyatanya kepada ASMA Allah.
Adapun huruf LAM Akhir itu nyatanya kepada SIFAT Allah.
Adapun huruf HA itu nyatanya kepada ZAT Allah.
Adapun AP’AL itu nyata kepada TUBUH kita.
Adapun ASMA itu nyata kepada HATI kita.
Adapun SIFAT itu nyata kepada NYAWA kita.
Adapun ZAT itu nyata kepada ROHANI kita.

INILAH PASAL

Masalah yang menyatakan ALAM. Adapun ALAM itu atas 2 (dua) perkara :
1. ALAM KABIR (ALAM BESAR/ALAM NYATA).
2. ALAM SYAQIR (ALAM KECIL/ALAM DIRI KITA).

Adapun ALAM KABIR itu adalah alam yang NYATA INI.
Adapun ALAM SYAQIR itu adalah alam DIRI KITA INI.
ALAM KABIR (ALAM BESAR) itu sudah terkandung didalam ALAM SYAQIR karena ALAM SYAQIR itu bersamaan tiada kurang dan tiada lebih, lengkap dengan segala isinya bumi dan langit, arasy dan kursy, syurga, neraka, lauhun (tinta) dan qolam (pena), matahari, bulan dan bintang.

Adapun BUMI / JASMANI didalam tubuh kita itu terdiri atas 7 (tujuh) lapis yaitu :
1. BULU.
2. KULIT.
3. DAGING.
4. URAT.
5. DARAH.
6. TULANG.
7. LEMAK (SUM-SUM).

Adapun LANGIT / ROHANI (OTAK/ARASY) didalam tubuh kita itu terdiri atas 7 (tujuh) lapis pula :
1. DIMAK (LAPISAN BERPIKIR/RUH NABATI).
2. MANIK (LAPISAN PANDANGAN/RUH HEWANI).
3. NAFSU (RUH JASMANI).
4. BUDI (RUH NAFASANI).
5. SUKMA (RUH ROHANI).
6. RASA (RUH NURANI).
7. RAHASIA (RUH IDHAFI).

Adapun MATAHARI didalam tubuh kita yaitu NYAWA kita.
Adapun BULAN didalam tubuh kita yaitu AKAL kita.
Adapun BINTANG didalam tubuh kita yaitu ILMU kita (ada yang banyak dan ada pula yang sedikit).
Adapun SYURGA didalam tubuh kita yaitu AMAL SHALEH kita.
Adapun NERAKA didalam tubuh kita yaitu DOSA-DOSA kita.

Adapun LAUT didalam tubuh kita ada 2 (dua) yaitu :
1. LAUT ASIN.
2. LAUT TAWAR.

Adapun LAUT ASIN didalam tubuh kita yaitu AIR MATA kita.
Adapun LAUT TAWAR didalam tubuh kita yaitu AIR LUDAH kita.

Adapun MAHLIGAI didalam tubuh kita ada 7 (tujuh) pula yaitu :
1. DADA.
2. QALBUN.
3. BUDI.
4. JINEM.
5. NYAWA.
6. RASA.
7. RAHASIA.

Didalam DADA itu QALBUN dan didalam QALBUN itu BUDI dan didalam BUDI itu JINEM dan didalam JINEM itu NYAWA dan didalam NYAWA itu RASA dan didalam RASA itu RAHASIA (SIR).

SUMBER: alamkarawang.wordpress.com/jalantrabas.blogspot.com/sodinco.blogspot.com


Dalam agama Islam, kita mengenal konsep Trilogi Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga kosep tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Shalat merupakan bagian dari rukun Islam yang sangat penting untuk dikaji dan dilaksanakan oleh umat Islam. Kata “shalat” merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang artinya hubungan. Ketika kita melakukan shalat, maka kita sebenarnya sedang melakukan hubungan langsung dengan Allah. Ketika seorang mengawali ibadah shalat dengan “Takbiratul Ihram” (Takbir Larangan), ruhani bergerak menemui Allah, terlepas dari belengu hawa nafsu karena panca indra menutup diri dari segala macam peristiwa di sekitarnya.

Dalam shalat, seorang pelaku shalat harus memusatkan seluruh perhatian diri kepada Wujud Allah yang merupakan obyek perhatian ruhani untuk kembali dan berserah diri. Kemudian setelah kita telah bertawajuh kepada Allah maka barulah kita dapat berserah diri secara kafah. Kalau kita sudah mencapai kesadaran seperti ini, maka para pelaku shalat tersebut dapat diberi gelar sebagai manusia yang murni (mukhlisin). Dan pada keadaan ini sifat setan dan hawa nafsu tidak mampu menembus alam keikhlasan orang mukmin.
Pada saat kita melakukan gerakan takbiratul ihram (takbir larangan) dalam shalat, maka otomatis seluruh syaraf indra tidak menghantarkan impuls getaran dari panca indra, sebab tujuh pintu hawa nafsu yang ada di kepala tidak difungsikan sehingga ruhani perlahan bergerak meninggalkan keterikatannya dengan badan (syahwat). Neuron-neuron akal berhenti bergerak hingga menjadi Nurun ‘ala Nurin, lalu melesat kembali ke pangkalnya, yaitu Cahaya Allah dan Cahaya Terpuji. Pada saat inilah ruhani berserah diri dan lepas bebas dari pengaruh alam-alam, suara-suara ghaib, dan lain-lainnya.

Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang yang menyekutukan-Nya.” (QS Al An’am 6 : 79)

Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita shalat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita dengan Wajah Allah Yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini yang terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak mungkin melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan ingkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain)………” (QS Al-Ankabut 29 : 45)

Allah memberikan gelar kepada orang yang shalatnya tidak sesuai dengan sumpahnya sebagai shalatnya orang munafik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah kecuali hanya sedikit sekali.” (QS An Nisa’ 4 : 142)

Ketika melakukan shalat, kita sering mengalami rasa jenuh dan tidak khusyu’, padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita dengan wajah Allah. Hal ini terjadi dikarenakan kita tidak mengetahui bagaimana cara melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, bahwa “shalat itu adalah mi’raj-nya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Mungkin bagi kita yang awam agak canggung dengan istilah mi’raj, yang hanya kita kenal sebagai peristiwa luar biasa hebat yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw dan menghasilkan perintah sebuah shalat. Mengapa Rasullullah mengatakan bahwa shalat merupakan mi’raj-nya orang mu’min? Adakah kaitannya dengan mi’rajnya Rasulullah Saw, karena perintah shalat adalah hasil perjalanan beliau ketika berjumpa dengan Allah di Shidratul Muntaha? Mungkinkah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah Saw melalui shalat? Apakah kita bisa bertemu dengan Allah ketika shalat? Begitu mudahkah bertemu dengan Allah? Atau jika jawabannya tidak, mengapa kita diperintahkan untuk shalat? Adakah rahasia dibalik shalat?.

Misteri ini hampir tak terpecahkan, karena kebanyakan orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori, dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya, kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat shalat atau bahkan hanya menganggap shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.

Dilain pihak ada peshalat yang telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai khusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa kita sadari sudah keluar dari “kesadaran shalat”.

Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang shalat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu sendiri, yaitu bergerser niatnya bukan lagi karena Allah.
“…..Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya.” (QS Al-Ma’un 107 : 4-6)

Pada ayat kelima firman Allah tersebut, didahului oleh kalimat Alladzina (isim mausul) sebagai kata sambung untuk menerangkan kalimat sebelumnya yaitu saahun (orang yang lalai). Celakalah baginya karena dasar perbuatan shalatnya telah bergeser dari “karena Allah” menjadi karena ingin dipuji oleh orang lain (riya)”. Atau, bagi orang yang dalam shalatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Shalat yang demikian adalah shalat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki shalat sebagai jalan untuk mengingat Allah.

“…maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku…”. (QS Thaha 20 : 14)
“……. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’raaf 7 : 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah shalat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang ia lakukan. Shalat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan selama ini, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan ingkar.
“…Janganlah engkau mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)….”. (QS An Nisa 4 : 43)

Kalimat laa taqrabu (janganlah kamu mendekati) mempunyai kandungan maksud bahwa kita dilarang mendekati shalat. Sebagian ulama menggap haram hukumnya jika orang mendekati shalat dalam keadaan tidak sadar. Hal ini dikaitkan dengan kalimat larangan yang juga menggunakan kata laa taqrabu seperti dalam firman Allah, “laa taqraba hadzihisy syajarah, “jangalah engkau dekati pohon ini.” (QS Al Baqarah 2 : 35) dan “laa taqrabul fawaahisya…., “Janganlah engkau dekati perbuatan-perbuatan keji.” (QS Al An’am 6 : 151) serta “Laa taqrabuz zina, “Janganlah engkau mendekati zina.” (QS Al Isra’ 17 : 32 ), Walaa taqrabuu maalal yatiimi, dan janganlah kamu dekati harta anak yatim… (An An’am 6 ayat : 152).

Nahyi (larangan) juga ditujukan kepada para mushalilin agar tidak melakukan shalat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Bentuk nahyi (larangan) pada ayat-ayat di atas seperti kata laa taqrabuush shalata (jangan engkau mendekati shalat) dan laa taqrabaa hadzihisy syajarata (jangan kalian mendekati pohon ini) mempunyai sifat yang sama, yaitu larangan untuk mendekati sesuatu (benda) atau perbuatan. Dan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apa lagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yang sangat buruk, yaitu, “maka celakalah orang yang shalat”.

Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu’ dalam shalatnya.
“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al Mukminun 23 : 1-2)

Sungguh amat jelas dalam nash tersebut, bahwa khusyu’ merupakan suatu hal yang sangat penting, dan Allah merespons orang-orang mukmin yang khusyu’ di dalam peribadatannya.
“Katakanlah : “Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka pun menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata “Maha Suci Tuhan kami, sungguh janji Tuhan kami pasti dipenuh”’, Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis, dan mereka bertambah khusyu” (QS Al Isra’ 17 : 107 – 109)

“Ilmu” yang dimaksud ayat di atas adalah ilmu khusyu. Jika ilmu tersebut ada dalam qalbu manusia maka akan bergetar qalbunya, tersungkur atas muka mereka seraya menangis dan mereka bertambah khusyu’, jika ayat-ayat Allah dibacakan. Ayat di atas sekaligus merupakan petunjuk atas tanda iman yang keluar dari qalbu orang-orang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila mengingat Allah gemetarlah qalbu mereka…”. (QS Al Anfaal 8 : 2)

Pengertian khusyu’ ialah lunak dan tawadhu’ qalbunya, merasakan ketenangan, kerinduan, keintiman dan kecintaannya kepada Allah.

Selanjutnya apa yang menjadi penyebab hilangnya ilmu khusyu’ pada zaman kini, Al Quran mengisahkan sebuah zaman yang hampir sama kejadiannya seperti zaman kita, yaitu :
“Dan ceritakan (kisah) Idris di dalam Al-Quran, sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka maka mereka menyungkur dengan sujud dan menangis. “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS Maryam 19 : 56-59)

Begitulah Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan shalatnya. Dalam Al Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang ingin mendapatkan kekhusyu’an.

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2 : 45-46)

Pada ayat pertama tersebut, Allah memberikan penjelasan terhadap kita, bahwa shalat itu memang sangat sulit dan berat, kecuali bagi orang yang khusyu’. Pada ayat berikutnya terdapat kata alladzina yazhunnuuna annahum mulaaquu rabbihim wa annahum ilaihi raajiun, untuk menjelaskan bahwa orang yang khusyu’ adalah yang mempunyai kesadaran rohani (zhan) bahwa dirinya sedang bertemu dengan Tuhannya dan dengan kesadarannya itulah mereka kembali kepada-Nya (berserah diri).

Jika tidak memahami kesadaran bahwa hanya kepada-Nya roh itu kembali, maka perjalanan rohani kita berhenti atau terlena ke dalam ilusi pikiran. Akibatnya pengalaman liqa’ Allah itu tidak ada, padahal pertemuan dengan Allah yang disebutkan di atas terjadi pada waktu sekarang atau sedang berlangsung.

Ada sebagian menterjemahkan bahwa “bertemu Allah” hanya di akhirat kelak. Pendapat ini tidak sesuai dengan kata yang tercantum dalam ayat tersebut. Sebab pada kalimat alladzina yazhununa annahum mulaaquu rabbihim wa annahum ilaihi raajiunn- adalah orang yang (sedang) meyakini atau menyadari bertemu dengan Tuhannya dan kepada-Nya mereka kembali. Kata raaji-unn berasal dari kata raja’a (telah kembali, fi’il madhi), sedang yarji’u (sedang kembali, fiil mudhori’) dan raaji’ (orang yang kembali, isim fail). Raajiuun adalah bentuk jama’ dari kata raaji (orang yang kembali).

Penggunaan isim fail (pelaku atau subjek) pada ayat tersebut menegaskan, bahwa subjek itu melakukan sesuatu pada saat sekarang atau sedang berlangsung, karena didahului kata yadzhunna (adalah bentuk fiil mudhori’), di dalam kitab Al qawaaidul ‘Arabiya, Al muyassarah jilid halam 79, wa huwa fi’lulu alladzi yadullu ‘ala hadatsin fi zamanin haadhir aumutaqbalin, menerangkan waktu zaman (jamanin) hadir au istiqbal yaitu peristiwa yang dilakukan saat sekarang dan akan datang atau kejadian itu sedang berlangsung. Maka bagi orang yang mengartikan bahwa kembali atau bertemu dengan Allah yang dimaksud adalah nanti di akhirat saja, sangatlah tidak masuk akal karena jika pendapatnya demikian akan muncul pertanyaan : jadi selama ini ketika kita shalat menghadap kepada siapa? Di manakah Allah saat kita sedang menyembah-Nya?

Bagaimana dengan pernyataan Allah dalam surat Thaha 20 ayat 14 :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat aku.

Begitu jelas bahwa objek (persembahan) ketika shalat adalah Aku, bukan nama-Ku akan tetapi kepada Wujud-Ku.

Sayyid Qutub memberikan penegasan bahwa penggunaan kata “dzan” pada kalimat alladzina yadzunnuuna annhum mulaquu rabbihim dan akar katanya, bukan bermakna “sangkaan” tetapi diartikan keyakinan berjumpa dengan Allah. Arti ini dianggap yang lebih tepat, karena banyak keterangan serupa terdapat di dalam Al Quran maupun dalam kaidah bahasa Arab pada umumnya (Abu Sangkan, 2003).

Salah satu bentuk khusyu’ yang dapat dilihat secara syariat adalah shalat yang tak menengok ke kanan dan ke kiri. Hal itu disebutkan dalam beberapa ayat dan Hadits di bawah ini :
“Maka sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin ( mati ) “. (QS Al Hijr 1: 99)

“Ingatlah kematian di dalam sholatmu. Karena sesungguhnya seseorang jika mengingat kematian di dalam sholatnya, niscaya dia akan bermaksud untuk memperbaiki sholatnya. Dan lakukanlah sholat sebagaimana sholat seseorang yang tidak pernah mengira bahwa dia akan dapat melakukan selain sholat yang dilakukannya itu “. (HR Ath Thabrani)

“Jika engkau telah berdiri di dalam sholatmu, maka lakukanlah sholat sebagaimana sholat seorang yang akan meninggalkan dunia “. (HR Ahmad)

“Dari Abu Hurairah : “Rasulullah Saw pernah menoleh ke kanan dan ke kiri dalam shalat, lalu Allah menurunkan firman-Nya : Sungguh beruntung mereka yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Kemudian Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, shalat dengan khusyu’ dan tidak menoleh ke kanan atau ke kiri”. (HR An Nasai)

“Allah itu tanpa henti memperhatikan shalatnya hamba, selama hamba itu tidak menoleh. Jika hamba itu menoleh, maka Allah mengalihkan pandangan-Nya dari hamba itu.” (Al Hadits)
Rasulullah Saw ketika melakukan shalat selalu dengan tuma’ninah, yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga beliau dapat menyempurnakan ruku’, I’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud dalam shalatnya.
“Apabila kalian melaksanakan shalat maka janganlah terburu-buru dan datangilah shalat tersebut dengan tenang dan penuh hormat.” (HR Bukhari)

Tentang lamanya waktu tuma’ninah kadang Rasulullah Saw melaksanakannya cukup lama.
“Sesungguhnya Anas pernah berkata : Sungguh aku tidak kuasa shalat dengan kamu sebagaimana aku pernah melihat Rasulullah Saw, shalat dengan kami, yaitu apabila mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau bediri tegak sehingga orang-orang menduga bahwa beliau lupa, dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau diam sehingga orang-orang menduga bahwa beliau lupa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Aku shalat bersama Rasulullah pada suatu malam : Rasulullah senantiasa berdiri lama sehingga ada perasaan yang tidak baik dalam hatiku. Lalu ditanya oleh beliau. Niat tidak baik apakah yang kamu rasakan? Ketika engkau berdiri lama aku ingin cepat duduk, dan ingin meninggalkan shalat bersamamu”. (HR Bukhari dan Muslim)

Cara untuk memasuki shalat yang khusyu’ dapat di lakukan dengan langkah-langkah berikut ini :

1. Heningkan pikiran dan usahakan tubuh anda rileks. Tak perlu mengkonsentrasikan pikiran karena anda akan merasakan pusing dan lelah.

2. Kemudian rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungan rasa itu kepada Allah (biasanya kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang terasa getarannya menyelimuti jiwa dan fisik. Getaran jiwa inilah yang kemudian memendar menjadi Nur yang menyambungkan kepada Allah (Nur Shalah), yang menyebabkan pikiran tidak liar).

3. Bangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Allah. Sadari bahwa anda akan memuja dan bersembah sujud kepada-Nya serendah-rendahnya, menyerahkan segala apa yang ada pada diri anda.

4. Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan kuat yang menarik rohani kita meluncur ke Cahaya-Nya, pada saat itulah ucapkan takbir Allahu Akbar, sembari mengangkat tangan untuk mempertemukan jari-jari tangan dengan pasangannya, yaitu tujuh lubang inderawi dikepala. Sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad Saw : “Ketika kami berada di sisi Rasulullah, tiba-tiba beliau bertanya : “Adakah orang asing dianatara kamu, kemudian beliau memerintahkan pintu dututup dan bersabda : Angkatlah tangan kamu” (HR Al Hakim). Saksikan dan nikmati Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang terlihat oleh mata Qalbu. Kemudian luruskan niat, sesungguhnya aku menghadap wajah ku kepada Wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi, dengan selurus-lurusnya, dan aku bukan termasuk orang yang syirik. Rasakan kelurusan jiwa anda yang terus bergetar menuju Nur Allah dan Nur Muhammad, dan setelah itu menyerahlah secara total dalam “Lautan Cahaya-Nya”. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah semata.

5. Rasakanlah kehadiran Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang masih menyelimuti jiwa anda, dan mulailah perlahan-lahan membaca setiap ayat dengan tartil, pastikan anda masih tetap melihat Nur Ilahi dan Nur Muhammad saat membaca ayat-ayat-Nya.

6. Kemudian lakukanlah rukuk, biarkan badan anda membungkuk. Pastikan bahwa roh anda tetap melihat Nur Ilahi dan Nur Muhammad Yang Maha Agung, kemudian secara perlahan-lahan bacalah dengan penuh perasaan hormat subhaana rabbiyal adiimi wabihamdihi. Jika hal ini terjadi seirama antara rohani dengan fisik anda, maka Nur Ilahi dan Nur Muhammad yang tersaksikan akan bertambah Cemerlang dan meliputi diri kita sehingga bertambah kuat pula kekhusyu’an shalat kita.

7. Setelah rukuk, anda berdiri kembali perlahan sambil terus menyaksikan Nur Allah dan Nur Muhammad sambil mengucapkan pujian kepada-Nya Yang Maha Mendengar, samiallahu liman hamidah, kemudian setelah kedua tangan diturunkan ucapan : Rabbana lakal hamdu millussamawati wamil ul ardhi wamil uma syita min syai in ba’du (Ya Allah, kami bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan bumi, sepenuh barang yang Engkau kehendaki). Rasakan keadaan ini sampai rohani anda mengatakannya dengan sebenarnya, dan jangan sedikitpun rasa tersisa dalam diri untuk ingin dipuji.

8. Kemudian secara perlahan dengan tetap melihat Nur Allah dan Nur Muhammad, bersujudlah serendah-rendahnya. Biarkan tubuh Anda bersujud, rasakan sujud anda agak lama. Jangan mengucapkan pujian kepada Allah yang Maha Suci, subhana rabbiyal a’la wabihamdih, sebelum roh dan fisik anda bersatu dalam Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad ketika sujud. Biasanya terasa sekali bersatunya rohani dengan Nur Allah dan Nur Muhammad ketika memuji Allah dan akan berpengaruh kepada fisik, menjadi lebih tunduk dan ringan.

9. Selanjutnya lakukanlah shalat seperti di atas dengan perlahan-lahan dan tuma’ninah di setiap gerakan. Jika anda melakukannya dengan benar, maka getaran Nur Ilahi dan Nur Muhammad akan bergerak menuntun fisik anda. Sempurnakan kesadaran “Nur shalah” anda sampai salam.
Anda akan merasakan getaran “Nur shalah” (Cahaya Penghubung) kapan saja, sehingga suasananya menjadi sangat indah dan damai. Dan ketika tiba waktu shalat, “Nur Shalah” itu akan bertambah besar dan merupakan tempat persinggahan jiwa untuk mengisi getaran “Nur Iman” yang diperoleh dari shalat dengan khusyu’. Agar getaran “Nur Iman” itu tidak tertutup lagi ingatlah Wujud Allah yang telah tersaksikan dalam shalat, dalam setiap kesempatan.
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasakan tenang, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An Nisa’ 4 :103)


AL-FATIHAH
TAFSIRAN AYAT 1 - 7

(1) BISMILLAHIRAMANIRAHIM

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Pengasih.
Ummu Salamah r.a. berkata, "Rasulullah saw. telah membaca Bismillahirrahmanirrahim ketika membaca Fatihah dalam solat. (Hadis da'if Riwayat Ibnu Khuzaimah).
Abu Hurairah r.a. ketika memberi contoh salat Nabi saw. membaca keras-keras Bismillahirrahmanirrahim. (HR. an-Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

Imam Syafii dan al-Hakim meriwayatkan dari Anas r.a. bahawa Muawiyah ketika sembahyang di Madinah sebagai imam, tidak membaca Bismillahirrahmanirrahim, maka ditegur oleh sahabat Muhajirin yang hadir, kemudian ketika sembahyang lagi ia membaca Bismillahirrahmanirrahim.

Adapun dalam mazhab Imam Malik tidak membaca Basmalah berdasarkan hadis Aisyah r.a. yang berkata, "Biasa Rasulullah saw. memulai salat dengan takbir dan bacaannya dengan Alhamdu lillahi rabbil alamin. (HR. Muslim).

Anas r.a. berkata, "Saya sembahyang di belakang Nabi saw., Abu Bakar, Umar, Utsman dan mereka semuanya memulai bacaannya dengan Alhamdu lillahi rabbil alamin". (Bukhari, Muslim).

Dan sunat membaca Bismillahirrahmanirrahim pada setiap perkataan dan perbuatan. karena sabda Nabi saw. yang berbunyi:
"Tiap urusan (perbuatan) yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim maka terputus berkatnya."

Juga sunat membaca Basmalah ketika wudhu, kerana sabda Nabi saw.:
"Tiada sempurna wudhu orang yang tidak membaca Basmallah"

Dan sunat juga dibaca ketika menyembelih binatang, juga sunat ketika makan, kerana sabda Nabi saw. kepaada Umar bin Abi Salamah yang berbunyi, "Bacalah Basmallah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari yang dekat-dekat kepadamu". (HR. Muslim). Juga membaca Basmallah ketika akan jima' (bersetubuh) sebagaimana riwayat Ibn Abbas r.a. Rasullah saw. bersabda: Andaikan salah satu kamu jika akan bersetubuh (jima') dengan isterinya membaca, "dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari syaitan, dan jauhkan syaitan dari rezeki yang Tuhan berikan kepada kami. Maka jika ditakdirkan mendapat anak dari jima' tidak mudah diganggu oleh syaitan untuk selamanya". (HR. Bukhari, Muslim).

BISMILLAH ( Dengan nama ALLAH )

Dengan nama Allah. Susunan kalimat yang demikian ini dalam bahasa Arab bererti ada susunan kata-kata yang mendahuluinya yaitu: Aku mulai perbuatan ini dengan nama Allah, atau: Permulaan dalam perbuatanku ini dengan nama Allah; untuk mendapat berkat dan pertolongan rahmat Allah sehingga dapat selesai dengan sempurna dan baik. Juga untuk menyedari kembali sebagai makhluk Allah, bahawa segalanya bergantung kepada rahmat kurnia Allah. Hidup, mati dan daya upaya semata-semata terserah kepada rahmat kurnia Allah Azza wa Jalla.
ALLAH
Nama Zat Allah Ta'ala. Nama Allah khusus bagi Allah, tidak dinamakan pada zat yang lain selain Allah. Haram menamakan dengan nama Allah pada zat yang lain selain Allah melainkan dengan menyandarkan sesuatu seperti Abdullah (hamba Allah) atau Amatullah (hamba perempuan Allah).
AR-RAHMAN AR-RAHIM (Yang Maha Pemurah Yang Maha Pengasih)
Ar-Rahman (Yang Penyayang) yakni yang penuh rahmatNya kepada semua makhluk di dunia hingga di akhirat, kepada yang mukmin mahupun yang kafir. Adapun Ar-Rahim (Yang Pengasih) khusus rahimNya buat kaum mukmin sahaja.
Firman Allah: "Arrahman alal arsyi istawa", untuk menunjukkan bahawa rahmat Allah meliputi (memenuhi) seiuruh Arsy. Dan firman Allah: "Wa kaana bil mu'miniina rahiima" (Dan terhadap kaum mukminin sangat belas kasih).

Nama Rahman ini juga khusus bagi Allah, tidak dapat dipakai oleh lain-lainNya. Kerana itu ketika Musailama al-Kadzdzab berani menamakan dirinya Rahmanul Yamamah, maka Allah membuka kepalsuan dan kedustaannya, sehingga dikenal di tengah-tengah masyarakat Musailamah al-Khadzdzab bukan sahaja bagi penduduk kota bahkan orang-orang Baduwi juga menyebutnya Musailamah al-Khadzdzab iaitu Musailamah Yang Pembohong.

Kesimpulan di dalam asma (nama-nama) Allah ada yang dapat dipakai oleh lain-Nya dan ada juga yang tidak dapat dipakai oleh lain-Nya seperti Allah, Ar-Rahman, Al-Khalik, Ar-Razak dan lain-lainnya. Dan yang boleh seperti Ar-Rahim, As-Sami', Al-Bashir seperti firman Allah, "Faja'alnaahu samii'an bashiira" (Maka Kami jadikan manusia itu mendengar lagi melihat).

2) ALHAMDULILLAHIR RABBIL ALAMIN

Segala puji-puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara alam semesta.
Ibn Jarir berkata, "Alhamdu lillah, syukur yang ikhlas melulu kepada Allah tidak kepada lain-lain-Nya daripada makhluk-Nya, syukur itu kerana nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba dan makhluk-Nya yang tidak dapat dihitung dan tidak terbatas, seperti alat anggota manusia untuk menunaikan kewajipan taat kepada-Nya, di samping rezeki yang diberikan kepada semua makhluk manusia, jin dan binatang dari berbagai perlengkapan hidup, kerana itulah maka pujian itu sejak awal hingga akhirnya tetap pada Allah semata-mata. Tiada yang memuji melainkan Allah.
ALHAMDULILLAH
Pujian Allah pada diri-Nya, yang mengandung tuntunan kepada hamba-Nya supaya mereka memuji Allah seperti seakan-akan perintah Allah, "Bacalah olehmu Alhamdulillah".
Alhamd pujian dengan lidah terhadap sifat-sifat peribadi, mahupun sifat yang menjalar kepada orang lain, sebaliknya syukur itu pujian terhadap sifat yang menjalar, tetapi syukur dapat dilaksanakan dengan hati, lidah dan anggota badan. Alhamd bererti memuji sifat keberanian, kecerdasan-Nya atau kerana pemberian-Nya. Syukur khusus untuk pemberian-Nya. Alhamd (puji) lawan kata Adzzam (cela).

Ibn Abbas r.a. berkata, Umar r.a. berkata kepada sahabat- sahabat, "Kami telah mengerti dan mengetahui kalimat Subhanallah, laa ilaha illallah dan Allahu Akhbar, maka apakah Alhamdu Lillahi itu?" Jawab Ali r.a., "Suatu yang dipilih oleh Allah untuk memuji Zat-Nya".

Ibn Abbas berkata, 'Alhamdu Lillah kalimat syukur, maka jika seorang membaca Alhamdu Lillah, Allah menjawab, "HambaKu telah syukur pada-Ku".

Jabir bin Abdullah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda: Seutama-utamanya zikir ialah "La ilaha illallah", dan seutama-utamanya doa ialah "Alhamdu Lillah". (HR. at-Tirmidzi, hadis Hasan Gharib).

Anas. bin Malik r.a. berkata, Nabi saw. bersabda: Tiadalah Allah memberi nikmat kepada seorang hamba- Nya, kemudian hamba itu mengucap "Alhamdu Lillah", melainkan apa yang diberi itu lebih utama (afdhal) dari yang ia terima. (Yakni ucapan "Alhamdu Lillah" lebih besar nilainya dari nikmat dunia itu). (HR. Ibnu Majah).

Anas r.a. juga meriwayatkan Nabi saw. bersabda, "Andaikan dunia sepenuhnya ini di tangan seorang dari umatku kemudian ia membaca 'Alhamdu Lillah' maka pasti kalimat Alhamdu Lillah lebih besar dari dunia yang di tangannya itu". 'Al' dalam kalimat Al-hamdu bererti segala jenis puja dan puji bagi Allah. Sebagaimana tersebut dalam hadis "Allahumma lakal hamdu kulluhu walakal mulku kulluhu wa biyadikal khair kullihi wa ilaika yar ji'ul amru kulluhu" (Ya Allah bagi-Mu segala puji semuanya, dan bagi-Mu kerajaan semuanya dan di tangan-Mu kebaikan semuanya, dan kepada-Mu kembali segala urusan semuanya).


RABB ALAMIN
Bererti pemilik yang berhak penuh, juga berarti majikan, juga yang memelihara serta menjamin kebaikan dan perbaikan, dan semua makhluk alam semesta.
Alam ialah segala sesuatu selain Allah. Maka Allah Rabb dari semua alam itu sebagai pencipta, yang mcmelihara, memperbaiki dan menjamin. Sebagaimana tersebut dalam surat asy- Syu'araa 23-24. Fir'aun bertanya, "Apakah rabbul alamin itu?" Jawab Musa, "Tuhan Pencipta, Pemelihara penjamin langit dan bumi dan apa saja yang di antara keduanya, jika kaMU mahu percaya dan yakin."

Alam itu juga pecahan dari alamat (tanda) sebab alam ini semua menunjukkan dan membuktikan kcpada orang yang memperhatikannya sebagai tanda adanya Allah Tuhan yang menjadikannya.

(3) AR-RAHMAN AR-RAHIM

Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
Ar-Rahman
yang memberi nikmat yang sebesar-besarnya seperti nikmat makan, minum, harta benda dan lain-lain.
Ar-Rahim
yang memberi nikmat yang halus sehingga tidak terasa, seperti nikmat iman dan islam. Jika anda akan menghitung nikmat kurnia Allah maka takkan dapat menghitungnya.

(4) MALIKI YAUMIDDIN

Raja yang memiliki pembalasan
Maliki
Dapat dibaca: Maliki (Raja), dan Maaliki (Pemilik - Yang Memiliki). Maaliki sesuai dengan ayat:
"Sesungguhnya Kami yang mewarisi bumi dan semua yang di atasnya, dan kepada Kami mereka akan kembali."
(Maryam 40).
Maliki sesuai dengan ayat: Katakanlah, "Aku berlindung dengan Tuhannya manusia. Rajanya manusia".
(an-Naas 1-2)

. "Bagi siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Bagi Allah Yang Esa yang memaksa (perkasa)."
(al-Mu'min = Ghafir 16).

Kerajaan yang sesungguhnya pada hari itu hanya bagi Ar: Rahman.
(al-Furqan 26).

Ad-Din (Pembalasan dan Perhitungan).
Sesuai dengan ayat:
"Apakah kami akan dibalas (diperhitungkan)". (as-Shafaat 53).
Umar r.a. berkata, "Andaikan perhitungan bagi dirimu sebelum kamu dihisab (diperhitungkan) dan pertimbangkan untuk dirimu sebelum kamu ditimbang, dan siap-siaplah untuk menghadapi perhitungan yang besar, menghadap kepada Tuhan yang tidak tersembunyi pada-Nya sedikit pun dari amal perbuatanmu. Pada hari kiamat kelak kalian akan dihadapkan kepada Tuhan dan tidak tersembunyi pada-Nya suatu apa pun."

(5) IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NAS TA’IIN.

Hanya kepadaMu (Allah) kami mengabdi (menyembah) dan hanya kepada-Mu pula kami minta pertolongan.
Adh-Dhahaak dari Ibn Abbas berkata,
"Iyyaka na'budu bermaksud Kepada-Mu kami menyembah mengesakan dan takut dan berharap, wahai Tuhan tidak ada lain-Mu". Dan Iyyaka nasta'in bermaksud "Kami minta tolohg kepada-Mu untuk menjalankan taat dan untuk mencapai semua hajat kepentinganku"
Qatadah berkata,
Dalam Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, Allah menyuruh supaya tulus ikhlas dalam melakukan ibadat kepada Allah dan supaya benar-benar mengharap bantuan pertolongan Allah dalam segala urusan."

(6) IHDINASS SHIRAATHAL MUSTAQIIM

Pimpinlah kami ke jalan yang lurus.
Shirath dapat dibaca dengan shad, siin dan zai dan tidak berubah erti.
Shiraathal mustaqiim, jalan yang lurus yang jelas tidak berliku-liku. Shiraatal mustaqiim, ialah mengikuti tuntunan Allah dan Rasulullah saw. Juga bererti Kitab Allah, sebagaimana riwayat dari Ali r.a. yang mengatakan bahawa Rasulullah saw. bersabda, "Asshiratul mustaqiim kitabullah'. Juga bererti Islam, sebagai agama Allah yang tidak akan diterima lainnya.

An Nawas bin Sam'aan r.a. mengatakan bahawa Rasulullah saw. bersabda:

Allah mengadakan contoh perumpamaan suatu jalan (shirrat) yang lurus, sedang di kanan-kiri jalan ada dinding dan di pagar ada pintu-pintu terbuka, pada tiap pintu ada tabir yang menutupi pintu, dan di muka jalan ada suara berseru, "Hai manusia masuklah ke jalan ini, dan jangan berbelok dan di atas jalanan ada seruan, maka bila ada orang yang akan membuka pintu dipenngatkan, 'Celaka anda, jangan membuka, sungguh jika anda membuka pasti akan masuk'. Shiraat itu ialah Islam, dan pagar itu batas-batas hukum Allah dan pintu yang terbuka ialah yang diharamkan Allah- sedang seruan di muka jalan itu ialah kitab Allah, dn seruan di atas shiraf ialah seruan nasihat dalam hati tiap orang muslim.
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i).
Tujuan ayat ini minta taufik hidayat semoga tetap mengikuti apa yang diridai Allah, sebab siapa yang mendapat taufik hidayat untuk apa yang diridai Allah maka ia termasuk golongan mereka yang mendapa nikmat dari Allah daripada Nabi shiddiqin, syuhada dan shalihin. Dan siapa yang mendapat taufik hidayat sedemikian berdrti ia benar-benar Islam berpegang pada kitab Allah dan sunnaturrasul, menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua larangan syariat agama.
Jika ditanya, "Mengapakah seorang mukmin harus minta hidayat, padahal ia bersolat itu bererti hidayat?"
Jawabnya, "Seorang memerlukan hidayat itu pada setiap saat dan dalam segala hal keadaan kepada Allah supaya tetap terus terpimpin oleh hidayat Tuhan itu, kerana itulah Allah menunjukkan jalan kepadanya supaya minta kepada Allah untuk mendapat hidayat taufik dan pimpinan-Nya. Maka seorang yang bahagia hanyalah orang yang selalu mendapat taufik hidayat Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam ayat 136, surat an-Nisa:
"Hal orang beriman percayalah kepada Allah dan Rasulullah" (an-Nisa 136).

Dalam ayat ini orang mukmin disuruh beriman, yang maksudnya supaya terus tetap imannya dan melakukan semua perintah dan menjauhi larangan, jangan berhenti di tengah jalan, yakni istiqamah hingga mati.

7) SHIRAATHALLAZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM GHAIRIL MAGH DHUBI ALAIHIM WALADH DHAALIIIN

Jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Tuhan atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai Tuhan atas mereka dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Inilah maksud jalan yang lurus itu, yaitu yang dahulu sudah ditempuh oleh orang-orang yang mendapat redha dan nikmat dari Allah ialah mereka yang tersebut dalam ayat 69 an-Nisa:
Dan siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah maka mereka akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dari para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, dan merekalah sebaik-baik kawan. (an-Nisa 69).
Dilanjutkan oleh Allah dengan ayat:
"zalikal fadh lu minallahi wakafa billahi aliimaa" (Itulah kurnia Allah dan cukup Allah yang Maha Mengetahui.)
Ibnu Abbas berkata, "Jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Tuhan kepada mereka sehingga dapat menjalankan taat ibadat serta istiqamah seperti Malaikat, Nabi-nabi, Shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Bukan jalan orang-orang dimurkai atas mereka, yaitu mereka yang telah mengetahui kebenaran hak tetapi tidak melaksanakannya seperti orang-orang Yahudi, mereka telah mengetahui kitab Allah, tetapi tidak melaksanakannya, juga bukan jalan orang-orang yang sesat kerana mereka tidak mengetahui.

Ady bin Hatim r.a. bertanya kepada Nabi saw., "Siapakah yang dimurkai Allah itu?" Jawab Nabi saw., "Alyahud (Yahudi)". "Dan siapakah yang sesat itu?" Jawab Nabi saw. "An-Nashara (Kristen/Nasrani)".

Orang Yahudi disebut dalam ayat "Man la'anabullahu wa ghadhiba alaihi"(Orang yang dikutuk (dilaknat) oleh Allah dan dimurkai, sehingga dijadikan di antara mereka kera dan babi.)

Orang Nashara disebut dalam ayat "Qad dhallu min qablu, wa adhallu katsiera wa dhallu an sawaa issabiil" (Mereka yangtelah sesat sejak dahulu, dan menyesatkan orang banyak, dan tersesat dari jalan yang benar.)

Nota:

Surat ini hanya tujuh ayat, mengandung pujian dan syukur kepada Allah dengan menyebut nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang mulia, lalu menyebut hal Hari Kemudian, pembalasan dan tuntutan, kemudian menganjurkan kepada hamba supaya meminta kepada Allah dan merendah diri pada Allah, serta lepas bebas dari daya kekuatan diri menuju kepada tulus ikhlas dalam melakukan ibadat dan tauhid pada Allah, kemudian menganjurkan kepada hamba sahaya selalu minta hidayat taufik dan pimpinan Allah untuk dapat mengikuti shirat mustaqiim supaya dapat tergolong dari golongan hamba-hamba Allah yang telah mendapat nikmat dari golongan Nabi, Siddiqin, Syuhada dan Shalihin. Juga mengandung anjuran supaya berlaku baik mengerjakan amal saleh jangan sampai tergolong orang yang dimurkai atau tersesat dari jalan Allah.

No comments: